Sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus. Begitu Bapa Suci Fransiskus membuka seruan apostoliknya Evangelii Gaudium (sukacita Injil). Kita yang menerima tawaran penyelamatan-Nya dibebaskan dari dosa, kehampaan batin dan kesepian. Namun, dewasa ini kita kerap mengalami atau merasakan dukacita dan kecemasan yang lahir dari hati yang puas diri tapi tamak, pengejaran akan kesenangan sembrono dan hati nurani yang tumpul. Ketika kehidupan batin kita terbelenggu dalam kepentingan dan kepeduliannya sendiri, tak ada lagi ruang bagi sesama, tak ada tempat bagi si miskin papa. Suara Allah tak lagi didengar, sukacita kasih-Nya tak lagi dirasakan, dan keinginan untuk berbuat baik pun menghilang.
Sebenarnya mengapa kita bersukacita? Sukacita tidak selalu diungkapkan dengan cara yang sama dalam hidup, terutama pada saat-saat yang sangat sulit. Sukacita menyesuaikan diri dan berubah, tetapi sekurang-kurangnya tetap, bahkan seperti secercah cahaya yang muncul dari keyakinan pribadi bahwa kita dicintai tanpa batas, melebihi segalanya. Sukacita iman perlahan-lahan mulai bangkit sebagai suatu kepercayaan yang tenang tapi teguh, bahkan dalam kesulitan atau penderitaan besar. Sukacita yang lahir dari kesadaran bahwa tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! (Rat 3:22-23)
Bagaimana kita membiarkan diri dijumpai oleh Yesus? Hanya berkat perjumpaan-perjumpaan yang dibarui dengan kasih Allah ini, yang berkembang dalam suatu persahabatan yang memperkaya, kita dibebaskan dari kesempitan dan keterkungkungan diri. Kita menjadi manusia sepenuhnya ketika kita menjadi lebih dari manusiawi, ketika kita membiarkan Allah membawa kita melampaui diri kita sendiri supaya mencapai kepenuhan kebenaran dari keberadaan kita. Sukacita Injil bukanlah seperti sukaria dalam kemewahan si orang kaya yang selalu berjubah ungu yang dikisahkan Injil Minggu ini, melainkan seperti penghiburan yang diterima Lazarus si pengemis. Ya, sukacita yang diterima sebagai anugerah, bukan sesuatu yang dicari dan dibuat.
Ibarat virus Corona yang demikian cepat menular, sukacita Injil menular dan mendorong kita menjadi pembawa sukacita bagi sesama yang kita jumpai. Maka, bersama St. Paulus kita pun mau berseru kepada dunia: Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! (Flp 4:4)