Siapakah anak-anak Allah itu? Kitab Suci mewartakan bahwa anak-anak Allah bukan anak-anak menurut daging, tetapi anak-anak perjanjian yang disebut keturunan yang benar (Rm 9:8). Tentang itu Roh bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah (Rm 8:16). Kita adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus, karena percaya dalam nama-Nya.
Dalam hidup, anak-anak terkait erat dengan keluarga, bapa dan ibu, kakak-adik. Dan tak ada yang bisa diteladani dengan lebih baik daripada Anak Yesus dalam Keluarga Kudus dari Nasaret. Hanya ada satu Anak, tetapi Anak Kudus ini merangkul semua anak di dunia. Dia, Yesus, adalah Kudus, tanpa cela, kemurnian tak bernoda, karena Ia dan Bapa-Nya adalah satu. Mungkinkah kita bisa meneladani-Nya? Bukankah kita berada dalam keluarga manusia berdosa? Benar, tetapi dalam iman kita percaya bahwa Allah telah mengangkat kita dengan cuma-cuma sebagai anak-anak-Nya, ahli waris harta surgawi. Bukan karena jasa kita, kita dijadikan anak-anak Allah, putra-putri Bapa, melainkan karena jasa Yesus Kristus, karena darah-Nya, karena kematian dan kebangkitan-Nya
“Aku naik kepada Bapa, yang adalah Bapamu juga”. “Aku pergi ke sana untuk menyediakan tempat bagimu, tempat di rumah Bapa.” Sabda Tuhan Yesus yang sederhana dan menyentuh hati ini mengandung banyak petunjuk untuk hidup sebagai anak-anak Allah. Keputraan Yesus bukan keadaan yang statis, Ia tidak memiliki keputraan itu untuk diri-Nya sendiri, karena Ia membagikannya dengan kita semua. Dasarnya adalah KASIH. Karena KASIH-lah Yesus membagikan harta keputraan-Nya dengan kita.
Jika dalam keluarga, atau komunitas, kita dengan bebas dan rela mengatakan satu sama lain, “ibuku adalah ibumu juga, bapaku adalah bapamu juga, kakak-adikku adalah kakak-adikmu juga”, maka tumbuhlah semangat berbagi, saling memberi tempat. Santo Benediktus menghimbau para rahibnya untuk hidup dengan semangat baik, dalam cinta kasih persaudaraan (PSB 72), konkritnya dengan saling mendahului dalam memberi hormat, saling menanggung kelemahan-kelemahannya, baik jasmani maupun moral, dengan sabar sekali, berlomba dalam saling mengasihi, saling menaati, saling memberi pengampunan.
Marilah kita pertama-tama bertanya diri: apakah saya hidup sebagai saudara atau saudari bagi sesama saya dalam keluarga? Dalam komunitas? Marilah kita bersikap terbuka satu sama lain, membiarkan Tuhan masuk ke dalam diri kita melalui relasi kita yang dimurnikan, mengikuti teladan Tuhan Yesus, Tuhan dan Guru kita di Sekolah Maria dan Yosef, Sekolah Cinta Kasih.