3 Juni 2023

Peringatan Santo Karolus Lwanga dkk

(Martir)


Kemuliaan para martir adalah tanda kelahiran baru
Pembacaan dari homili Paus Paulus VI pada kesempatan pengangkatan para martir Uganda menjadi Santo

 

Martir-martir dari Afrika ini menambahkan lembaran baru pada daftar para pria dan wanita yang menang dalam perjuangan, yang disebutkan dalam Martirologium.  Di situ kita temukan kisah yang paling agung dan paling sedih.  Halaman yang mereka tambahkan ini pantas dijajarkan dengan kisah-kisah mulia dari Afrika di jaman kuno, yang menurut perkiraan kita, orang hidup di masa sekarang, sebagai manusia kurang percaya, sudah tidak akan terulang lagi.

Kita misalnya teringat akan cerita yang mengharukan tentang para martir di Skilita, para martir di Kartago, para martir di Utika, tentang “Onggokkan putih” yang diberitakan oleh Santo Agustinus dan Prudentius, para martir di Mesir, yang disebutkan oleh Santo Yohanes Krisostomus dengan rasa kagum dalam tulisannya, serta para martir dalam masa pengejaran bangsa Vandal.  Siapa mengira bahwa mereka itu di masa sekarang masih disusul lagi dengan kisah-kisah baru tentang perbuatan berani lagi mulia?  Kita kenal akan hidup para santo, martir dan saksi iman, seperti Siprianus, Felisitas, dan Perpetua, dan Agustinus Agung.  Siapa yang berpikir, bahwa pada suatu hari kita akan menambahkan pada daftar ini nama-nama yang begitu berkenan pada hati kita, nama Karolus Lwanga, Matius Molumba Kalemba dan dua puluh orang rekan-rekannya?  Dan kita juga tidak boleh lupa akan mereka dari kesatuan Anglikan, yang mati demi nama Kristus.

Memang para martir di Afrika ini telah meletakkan dasar bagi jaman baru. Kita tidak perlu memperhatikan pengajaran dan pertentangan di bidang agama, tetapi kelahiran baru yang dimulai bagi kehidupan kristiani dalam masyarakat.  Sebab dari Afrika yang diperciki dengan darah para martir ini, yang pertama di alam baru (dan semoga yang terakhir juga; begitu luhur, begitu indah korban mereka) tumbuhlah Afrika yang bebas dan merdeka.

Kisah sedih yang mengakhiri hidup mereka meninggalkan hikmat istimewa, begitu kaya, hingga di situ orang dapat menemukan cukup banyak pesan bagi pembentukkan susila dalam bangsa yang baru, untuk pendasaran suatu tradisi rohani baru pula.  Di situ ditemukan unsur-unsur, yang mampu menerangi dan merintis perubahan dari cara hidup sederhana yang agak primitif menjadi peradaban baru.  Tentu, cara hidup yang lama, tidak sama sekali tanpa mempunyai sifat-sifat manusiawi unggul, tetapi ternoda, kurang lengkap, dan seakan-akan terkurung dalam keterbatasannya sendiri.  Namun di dalam tata masyarakat baru dapat timbul suatu kesadaran akan hal-hal yang lebih tinggi, yang dapat dicapai oleh jiwa manusia, dan suatu usaha untuk membangun keadaan hidup sosial yang lebih menguntungkan.

 


Pada abad XIX, kebudayaan di Afrika, khususnya di Uganda, masih terbilang primitif.  Perdagangan budak, poligami, pemerkosaan anak-anak, dan praktek-praktek animism masih marak.  Itu semua bertentangan dengan iman dan moralitas Kristiani yang mulai diwartakan oleh para misionaris.  Oleh karena itu, ketika beberapa penduduk setempat mulai meninggalkan cara hidup primitif tersebut dan beralih ke cara hidup Kristiani, Raja Mwanga menjadi marah.  Ia melancarkan aksi pembunuhan, baik kepada para misionaris maupun rakyat mereka yang bertobat.  Karolus Lwanga, seorang pemuda berusia 20 tahun dan pemimpin 19 pemuda Kristiani tidak lupt dari sasaran Raja Mwanga.  Bersama 12 kawannya, Karolus ditangkap dan dibunuh pada 3 Juni 1886, sementara yang lainnya pada 26 Mei tahun yang sama, dan yang terakhir pada 27 Januari tahun berikutnya.  Mereka dikanonisasi oleh Paus Paulus VI pada tahun 1964.