Profil Biara Gedono

Setiap rahib/rubiah Cisterciensis dipanggil Allah untuk masuk ke dalam pertapaan yang merupakan “sekolah pengabdian Tuhan”. Peraturan yang disusun oleh St. Benediktus dari Nursia pada abad ke enam merupakan Pedoman dari sekolah ini. Dalam teks yang singkat ini, Benediktus menetapkan suatu cara hidup berdasarkan injil yang perlahan lahan dikembangkan lewat kebijaksanaan dan pengalaman para rahib Kristen perdana. Kehidupan bersama berdasarkan kesetiaan pribadi melalui suatu peraturan yang diterapkan lewat pengajaran dan petunjuk dari seorang abas/abdis.

Kalau seorang memasuki kehidupan ini dengan iman dan semangat baik, ia akan mulai memahami bahwa ia sungguh sungguh masuk dalam hidup Kristus sendiri – dia mulai menghayati ketaatan, keheningan (silensium) dan kerendahan hati yang menjiwai Yesus selama hidup-Nya di dunia ini oleh kesetiaan pada tata hidup Cisterciensis. Rahib/rubiah perlahan berkat rahmat Allah diantar mencapai cinta kasih yang menghalau ketakutan dan memampukannya untuk hidup dalam kasih persaudaraan dengan sesama rahib/rubiah, kasih yang tulus pada abas/abdisnya, dan sehingga Kristus sungguh diutamakan di atas segalanya.

Pada abad sebelas dan dua belas, kehidupan monastik Benediktin mengalami sejumlah besar gerakan pembaharuan. Umumnya mereka semua berusaha untuk mengembalikan keseimbangan peraturan yang asli melalui kehidupan sederhana dalam keheningan, yang terpisah dari dunia. Pertapaan Citeaux di Perancis, yang didirikan tahun 1098, menandai awal gerakan pembaharuan yang meluas ini.

Karena usahanya untuk menerapkan nilai nilai dan penghayatan Peraturan Santo Benediktus (PSB) secara utuh, Ordo Cisterciensis lahir dan menghasilkan perkembangan baru spiritualitas mistik kristiani. Di pusat pandangan spiritual ini ada intuisi St. Bernardus dan para bapa Cisterciencis lainnya, bahwa cinta antara Kristus dengan Gereja adalah ungkapan yang paling inti dari misteri keselamatan. Wawasan ini menuntun orientasi doktrin Cisterciensis tentang pertumbuhan hidup batin/rohani: rahib/rubiah dipanggil untuk hadir dan mengambil bagian dalam ikatan perkawinan antara Kristus dan umat manusia yang sudah ditebus. Semua struktur struktur monastik, penghayatan praktis dan gaya hidup diatur untuk mencapai tujuan ini: kesatuan mesra dengan Kristus di dalam Gereja.

Ciri khas panggilan Cisterciensis Trappist adalah bertekun dalam hidup dengan hati sederhana untuk mencari Allah yang menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Usaha pencarian ini diungkapkan secara nyata di dalam suatu komunitas monastik di dalam suatu pertapaan yang terpisah dari keramaian. Para anggota komunitas dikumpulkan oleh panggilan ilahi untuk hidup menurut injil seperti yang diungkapkan dalam Peraturan St. Benediktus dan dalam tradisi Ordo Cisterciensis Trappist.

Pertapaan Cisterciensis adalah “Sekolah Pengabdian Tuhan” atau “Sekolah Cinta Kasih”, dimana tidak ada sesuatupun yang dapat diutamakan melebihi Kristus. Para rahib / rubiah Cisterciensis menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah dengan hidup di bawah satu ikatan Peraturan dan di bawah pimpinan seorang Abas /Abdis, dalam satu komunitas kasih persaudaraan yang tetap. Mereka mengimani Abas / Abdis sebagai Wakil Kristus. Mereka menyangkal diri untuk mengikuti Tuhan Yesus Kristus. Melalui kerendahan hati dan ketaatan, mereka memerangi kesombongan dan pemberontakan dosa. Di dalam kesederhanaan dan kerja mereka mencari kebahagiaan yang dijanjikan kepada kaum miskin. Di dalam keramahan menerima tamu, mereka membagikan kedamaian dan harapan yang datang dari Kristus Tuhan kepada rekan peziarah.

Para rahib/rubiah Cisterciensis mengarahkan hidupnya kepada kontemplasi. Mereka membaktikan diri seutuhnya kepada Allah semata mata dalam kesunyian, keheningan dan doa kontinu, dan dalam pertobatan terus menerus. Untuk itu, mereka tidak melakukan karya kerasulan aktif, betapapun mendesaknya kebutuhan Gereja. Tata kehidupan tersebut mengembangkan Tubuh Mistik Kristus melalui kesuburan kerasulan yang tersembunyi.

Ciri khas panggilan Cisterciensis hanya dapat berkembang kalau karunia doa kontinu mengalir dalam setiap anggotanya. Anugerah doa diwujudkan melalui hidup komunitas di mana:

  • Perayaan Ekaristi menjadi pusat dan puncak perayaan liturgi, yang mempersatukan para rahib / rubiah semakin erat pada Tuhan dan sesama.
  • Korban Pujian bagi Allah (Karya Allah) dirayakan dengan menyanyikan mazmur mazmur bagi Allah atas nama Gereja. Mazmur yang mengungkapkan segala perasaan manusia di hadapan Penciptanya, dinyanyikan bersama sama dalam Ibadat Harian yang merupakan perpanjangan dan persiapan Perayaan Ekaristi.
  • Suasana keheningan sangat diperlukan untuk membantu sikap mendengarkan dan saling mendukung, untuk tetap tinggal dalam kesadaran akan hadirat Allah yang merupakan sumber doa dan sekolah kontemplasi.
  • Kerja tangan selalu mendapat penghargaan sesuai dengan seluruh tradisi Ordo Cisterciensis. Para rahib/rubiah harus bekerja untuk mendapatkan nafkahnya dan untuk mengungkapkan solidaritasnya dengan kaum pekerja kecil. Kerja merupakan kesempatan yang menunjang perkembangan pribadi untuk memberi diri masing masing kepada sesama.
  • Acara harian mengatur seluruh hari monastik sedemikian rupa sehingga setiap pribadi seutuhnya dilibatkan dalam pengabdian kepada kehendak Allah semata mata.

Pertapaan Cisterciencis Trappist menggambarkan misteri Gereja – Mempelai Kristus, sebagai tempat doa dan kesatuan dengan umat Allah. Di situlah para rahib / rubiah melayani umat Allah dalam semangat kerendahan hati sebagai rasul Kristus yang tersembunyi.

Asitektur monastik Cisterciencis melambangkan keserasian dan keindahan ilahi. Gedung gedung dan bangunan bangunan dalam biara monastik dibangun dengan sederhana dan bersahaja, sesuai dengan teladan para Bapa Citeaux yang mencari hubungan sederhana dengan Allah yang sederhana. Diharapkan bahwa pertapaan menarik karena kesederhanaan dan keindahannya yang membawa hati kepada Allah.

Bangunan/gedung-gedung Pertapaan Gedono, yang merupakan karya alm. Romo YB Mangunwijaya, Pr, telah mendapat banyak penghargaan karena seni spiritual yang menyegarkan dan mengarahkan hati kepada ketenangan.

Perayaan Karya Allah (ibadat harian) merupakan tanggapan pujian komunitas bagi Allah yang menciptakan, menebus dan menguduskan dunia di dalam Putra-Nya. Kemuliaan Allah dan penyelenggaraan kasih kebapaan-Nya pada seluruh ciptaan-Nya dirayakan sepanjang hari, dimulai dengan ibadat malam sebelum matahari terbit dan diakhiri dengan ibadat penutup sesudah matahari terbenam.

Seluruh ciptaan diundang untuk hidup dalam ketaatan, pujian dan rasa syukur terhadap Penciptanya. Doa pada dasarnya adalah percaya pada-Nya dan mempercayakan diri pada-Nya.

Lingkaran Tahun Liturgis, yang disediakan oleh Gereja, menghadirkan seluruh rencana sejarah penyelamatan, dimulai dengan para bapa bangsa dan nabi Israel yang menantikan Kristus sampai ke penantian Gereja akan kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan.

Melalui rangkaian madah, mazmur, bacaan dan saat-saat hening yang merupakan bagian dari setiap ibadat, komunitas dibantu mengembangkan kemampuan berdialog dengan Allah.

Pusat hidup monastik adalah perayaan Ekaristi. Setiap pagi komunitas berkumpul untuk mendengarkan Sabda Allah dan berpartisipasi dalam korban syukur Kristus kepada Bapa. Dalam setiap liturgi Ekaristi, panggilan kita diulangi, diwahyukan secara sempurna dalam Kristus dan dipercayakan lagi kepada kita sebagai tugas hidup kita. Pernyataan tobat, bacaan kitab suci, Doa Syukur Agung, doa Bapa Kami, Salam Damai, dan Komuni, semuanya ini merupakan sumber pertobatan kita, rekonsiliasi dengan Allah dan di antara kita, pelayanan kita timbal-balik, partisipasi kita dalam Kehidupan yang lebih luas dan universal daripada hidup dalam lingkup kita sendiri.

Komunitas berkumpul untuk merayakan liturgi Ekaristi dan ibadat harian (Karya Allah) tujuh kali sehari. Misteri yang sama direnungkan secara pribadi oleh para rahib/rubiah dalam kesunyian, khususnya melalui “lectio divina”, cara monastik untuk mendoakan Kitab Suci.

Alkitab dibuka dengan iman bahwa: “Sabda Allah hidup dan aktif”. Rahib/rubiah percaya bahwa Roh Kudus bersabda kepadanya, sabda yang selalu baru setiap hari. Dia mau mendengarkannya dan menerapkannya dalam dirinya sendiri. Suatu perikop Kitab Suci dari misa harian atau suatu teks lain dipilih lalu dibacanya pelan pelan, mungkin beberapa kali, sampai ada kata atau kalimat yang berkesan ataupun

Kata Latin untuk rahib adalah “monos” yang berarti satu, utuh. Apakah artinya “keutuhan”? Kesendirian, terpisah dari dunia, selibat, persatuan spiritual batiniah? St. Agustinus memberikan suatu jawaban yang sangat mempengaruhi hidup monastik barat. Keutuhan monastik bukanlah sesuatu yang bersifat individual, melainkan merupakan kesatuan akal budi dan hati yang dinikmati oleh suatu komunitas yang menimba air hidup dari satu Roh, Roh Kristus yang bangkit.

Dalam hidup bersama, semakin dalam seorang rahib/rubiah menghayati persekutuan iman, harapan dan cinta yang merupakan eksistensi komunitas yang paling dalam, semakin ia dapat menghayati kehidupan sebagai seorang rahib/rubiah. Ini dinyatakan oleh St. Benediktus ketika ia memasukkan suatu komitmen untuk membuat “stabilitas” dalam rumus profesi.

Oleh kaul untuk ‘bertekun bersama para saudara sampai mati’, rahib/rubiah menyatakan bahwa jati dirinya bukan lagi hal hal pribadi. “Mulai sekarang”, sebagaimana dikatakan dalam Peraturan St. Benediktus, ia di hitung sebagai seorang anggota komunitas.

Ketika generasi pertama Cisterciencis mempelajari Kristus, mereka ingin mengetahui dimana Ia paling banyak berada dengan diri Nya sendiri. Mereka ingin mencontohnya dan menjadi seakrab mungkin dengan Nya. Segera mereka mendapatkan Dia yang mereka cari. Ia adalah Kristus yang miskin, Kristus yang rendah hati, seseorang yang hampir seluruh hidupnya menjadi pekerja tangan. Penemuan ini membuat para Cisterciensis pertama dan semua generasi penerus melakukan kerja tangan sebagai satu bagian yang sangat dibutuhkan dalam hidup monastik. Banyak pekerjaan dalam pertapaan merupakan dedikasi (pemberian diri) untuk memenuhi kebutuhan komunitas seperti memasak, mencuci pakaian, merawat yang sakit, memelihara lingkungan biara dan hal-hal yang menunjang kepentingan bersama. Semuanya itu merupakan cara dimana rahib/rubiah saling melayani melalui pekerjaan mereka. Tetapi rahib/rubiah juga bekerja untuk mencari nafkah.

Di biara Bunda Pemersatu Gedono, para rubiah bekerja membuat hosti, membuat selai dan sirup. Kami juga mencetakkan kartu-kartu bergambar dengan teks-teks rohani dan doa, membuat rosario dan ikon. Semuanya itu kami kerjakan sendiri, dengan bantuan beberapa karyawan dari desa di sekitar biara, untuk pengolahan tanah.
Pada waktu waktu tertentu, kebun pertapaan menghasilkan buah dan sayur-mayur yang melimpah, maka sebagian dijual di toko kamar tamu.