27 Agustus 2022

Peringatan Santa Monika


Marilah kita menyelami kebijaksanaan kekal
Pembacaan dari Buku Pengakuan Santo Agustinus

 

Ketika hari sudah mendekat; hari itu Engkau tahu, Tuhan, meskipun kami tidak; maka terjadilah dan aku percaya, Engkaulah yang mengaturnya.  Bahwa Ibu dan aku berdiri sendirian dimuka jendela dengan memandang ke taman di tengah rumah di tepi sungai Tiber, sebab di sana kami jauh dari ributnya keramaian orang, beristirahat sebelum perjalanan laut.  Di sana kami berbicara bersama-sama, hanya Ibu dan aku saja, dengan sukacita mendalam, melupakan masa lalu dan memandang masa depan.  Kami saling bertanya satu sama lain di hadapan kebenaran, – sebab Engkau adalah Sang Kebenaran – seperti apakah kiranya ikut serta dalam kehidupan kekal yang dinikmati para kudus, yang belum pernah dilihat mata dan belum pernah didengar telinga, dan bahkan belum pernah masuk di dalam hati manusia?  Kami merindukan dengan segenap hati kami untuk minum dari aliran mata air surgawi-Mu, sumber hidup yang ada pada-Mu.

Itulah inti pembicaraan kami meskipun kata-katanya tidak persis demikian.  Tetapi Engkau tahu, ya Tuhan, bahwa di tengah-tengah pembicaraan kami hari itu dunia dengan segala kesenangannya tidak lagi menarik bagi kami.  Ibuku berkata, “Nak, bagiku tak ada lagi yang memberi kesenangan di dunia ini sekarang.  Aku tidak tahu mengapa aku masih disini karena aku sudah tidak mengharapkan sesuatu lagi di dunia ini.  Dulu aku memang mempunyai alasan ingin hidup sedikit lebih lama; untuk melihatmu menjadi seorang Kristen Katolik sebelum aku meninggal.  Tuhan telah melimpahkan karunia-Nya padaku dalam hal ini, sebab aku tahu bahwa engkau bahkan telah menyangkal kesenangan duniawi untuk menjadi hamba-Nya.  Maka apalagi yang masih harus kuperbuat disini?”

Aku tidak begitu ingat bagaimana aku menjawabnya.  Tak lama kemudian, dalam waktu lima hari atau sekitarnya ia jatuh sakit dengan demam.  Dan dalam keadaan sakit, pada suatu hari ia tidak sadar untuk sementara.  Aku dan saudaraku bergegas datang ke sisinya, tetapi ia segera siuman kembali.  Dia memandang kami yang berdiri di dekatnya dan bertanya seperti heran, “Di mana aku tadi?”  Kami tenggelam dalam kesedihan tetapi ia memandang kami dengan sungguh-sungguh dan berbicara lebih lanjut, “Di sini, kalian akan menguburkan ibu kalian.”  Aku tetap terdiam sembari menahan air mataku.  Tetapi saudaraku mengungkapkan harapannya agar ibu tidak meninggal di negeri asing tetapi di tanahnya sendiri, karena akhir hidupnya akan lebih membahagiakan di sana.  Ketika Ibu mendengarnya, wajahnya penuh kesusahan, dan menegur dengan tatapan matanya karena saudaraku mengikuti pikiran duniawi yang demikian.  Kemudian ia berpaling kepadaku dan berkata, “Lihatlah apa yang dikatakannya.”  Maka ia pun berpesan kepada kami berdua, “Kuburkanlah tubuhku ini dimana saja kalian kehendaki, janganlah kalian menjadi susah akan hal itu.  Hanya satu ini saja yang kuminta dari kalian, supaya kalian mengingat aku di hadapan altar Tuhan, di mana saja kalian berada.”  Sesudah Ibu kami mengungkapkan kerinduan ini, sejauh yang ia mampu, ia segera terdiam karena rasa sakit yang dideritanya semakin bertambah.