10 Desember 2022

PEKAN II ADVEN – SABTU


Adven sebagai partisipasi dalam kenosis Kristus
Pembacaan dari tulisan Thomas Merton

 

Kita perlu berusaha untuk mengerti sifat kenosis yang terkandung dalam misteri Adven.  Kristus yang telah mengosongkan diri-Nya, dengan mengambil rupa sebagai seorang hamba, wafat di salib bagi kita, membawa kita kepada kepenuhan rahmat dan penyelamatan-Nya.  Sampai sekarangpun Ia masih  meneruskan suatu kenosis dan eksistensi yang tersembunyi di dalam diri kita.  Kepenuhan waktu adalah saat penghampaan-Nya di dalam diri kita.  Kepenuhan  waktu adalah saat penghampaan kita yang menarik Kristus masuk ke dalam hidup kita supaya Ia dapat membawa kesempurnaan kebenaran-Nya kepada dunia – di dalam diri kita dan melalui diri kita.

Di sinilah kita perlu menyadari konsep bias kita tentang “kepenuhan” dan “pemenuhan”.  Memang betul bahwa kemuliaan dan kehadiran Kristus kadang-kadang meluap secara nampak bukan hanya dalam karisma spiritual melainkan juga dalam apa yang dapat disebut karisma kebudayaan dan bentuk-bentuk spiritual dari suatu peradaban.  Tetapi jelas bahwa hal-hal itu dapat dikatakan sebagai “karisma”, paling-paling sebagai suatu metafora atau suatu analog, karena tetap merupakan unsur-unsur yang sangat terbatas dalam waktu dan tempat yaitu hanya sampai pada taraf “dibaptis”, dengan kata lain: dikristenkan.  Semakin kita “penuh” dengan kepenuhan tersebut, semakin kita mengidentifikasikan wajah kemuliaan Kyrios dengan wajah suatu kebudayaan yang kaya, makin kita diperdaya oleh proyeksi dan khayalan, maka makin besar bahaya bahwa Kristianitas kita akan menjadi kebanggaan yang sia-sia di hadapan Allah.

Dengan demikian kedatangan Tuhan tidak hanya menuntut bahwa kita kembali kepada “pengosongan” iman. Tetapi terlebih lagi mungkin akan menuntut dihancurkannya gambaran palsu yang kita angkat ke permukaan untuk menghormati prestasi diri kita sendiri atau gambaran palsu yang telah  diangkat untuk menghormati Tuhan tetapi belum pantas bagi-Nya.

Jika Tuhan ingin menghayati pengosongan diri-Nya di dalam diri kita, tidak mungkin bahwa Ia akan menyetujui rasa kepenuhan dan kebanggaan diri yang berasal dari kesombongan kita secara kolektif.  Di atas siapakah Roh-Nya akan berdiam selain orang yang rendah hati dan miskin?  Tidak berarti bahwa gejala kesombongan yang  kadang-kadang nampak bahkan secara cukup umum, dapat menimbulkan keragu-raguan terhadap kebenaran Gereja.  Tetapi memang dapat diartikan bahwa pada saat-saat di mana hal itu terjadi kekuatan dan kesucian Gereja tidak lagi seperti semestinya.

Sungguh bisa terjadi bahwa orang-orang Kristiani yang paling sejati adalah justru mereka yang merasakan diri orang Kristiani yang tidak pantas.  Mungkin hal itu juga merupakan bagian dari misteri Adven dan dapat memperingati kita akan jalan Kristus sebagaimana diceritakan dalam Injil: Ia  paling rela mendekati orang yang paling membutuhkan-Nya, yaitu yang malang, yang berdosa, yang miskin… pendek kata mereka yang “hampa”.  Maka misteri Adven merupakan misteri pengosongan, misteri kemiskinan, misteri keterbatasan.  Semestinya begitu.  Kalau tidak, Adven tidak dapat menjadi misteri.