PEKAN BIASA II – KAMIS
Kristus hidup selamanya untuk menjadi pengantara kita
Pembacaan dari surat St. Fulgensius dari Ruspe
Saudara-saudara, marilah kita perhatikan, bahwa dalam menutup doa kita mengatakan, “demi Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami”; tidak pernah “demi Roh Kudus”. Tentu tidak tanpa alasan Gereja Katolik bersatu dalam menggunakan rumus ini! Hal ini didasarkan pada misteri bahwa manusia Yesus Kristus menjadi pengantara antara Tuhan dan manusia, imam abadi menurut martabat Melkisedek. Ia menumpahkan darah-Nya sendiri, Ia masuk sekali dan untuk selamanya ke dalam Tempat Yang Mahasuci, yang tidak dibuat oleh tangan manusia, yang hanya gambaran dari apa yang sebenarnya, yakni ke dalam surga sendiri. Di sana, di sisi kanan Allah, Ia berbicara sebagai Pengantara kita.
Rasul mengungkapkan pandangannya tentang imamat Yesus dengan kata-kata, “Dengan perantaraan Dia marilah kita senantiasa mempersembahkan kurban pujian kepada Allah, buah bibir yang mengakui nama-Nya. Dengan perantaraan-Nyalah kita mempersembahkan kurban pujian dan doa, sebab karena kematian-Nya, kita, meskipun masih musuh, sudah diperdamaikan.” Sebab Ia sudi menjadi kurban bagi kita, dan dengan perantaraan Dia kurban kita dapat diterima di hadapan Allah. Maka dari itu Santo Petrus menasihati kita dengan kata-kata ini, “Bagaikan batu-batu hidup biarkanlah kamu dibangun menjadi rumah rohani, imamat suci, untuk mempersembahkan kurban rohani yang berkenan kepada Allah dengan perantaraan Yesus Kristus.” Itulah sebabnya maka kita berkata kepada Allah Bapa “demi Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan dan pengantara kami.”
Kalau kata imam disebut, hal ini sehubungan dengan misteri penjelmaan Tuhan. Dalam misteri itu Sang Putra, meskipun dalam rupa Allah, telah mengosongkan diri dan mengambil bentuk hamba; dan dengan demikian Ia merendahkan diri dan taat sampai mati. Meskipun memiliki kesamaan dengan keallahan Bapa, untuk sementara waktu Ia dijadikan lebih rendah daripada para malaikat. Meskipun tetap sama dengan Bapa, Putra dijadikan lebih rendah, karena Ia berkenan lahir menjadi sama dengan manusia. Perendahan Kristus itulah pengosongan diri. Dan pengosongan diri ini tidak lain daripada penerimaan bentuk seorang hamba.
Tetapi Kristus tetap memiliki bentuk Allah, karena Dia adalah Putra Tunggal Allah. Kepada-Nya, seperti kepada Bapa, kita mempersembahkan kurban. Tetapi dengan mengambil bentuk seorang hamba, Kristus menjadi imam. Lewat Dia kita dapat mempersembahkan kurban yang hidup dan suci, yang berkenan kepada Allah. Dan seandainya Kristus tidak menjadi kurban kita, kita tidak dapat memiliki kurban. Sebab di dalam diri-Nya, kodrat bangsa manusia menjadi kurban penyelamatan yang sejati.
Jadi kita mengakui, bahwa doa kita dipersembahkan lewat Tuhan kita, imam abadi. Dengan itu kita menyatakan iman kita, bahwa daging bangsa manusia sungguh ada pada-Nya, sesuai dengan kata-kata Paulus, “Sebab setiap imam agung dipilih dari antara manusia, ditunjuk untuk bertindak mewakili manusia dalam hubungannya dengan Allah, dan untuk mempersembahkan pemberian serta kurban bagi dosa-dosa.” Maka, kalau kita berkata “Putra-Mu”, dan menambahkan “yang hidup dan berkuasa bersama Dikau dalam persatuan Roh Kudus”, kita mengingat akan kesatuan yang ada pada kodrat Bapa, Putra dan Roh Kudus; kita mengakui adanya Kristus yang satu dan sama, yang melakukan tugas imamat bagi kita; kita mengakui pula bahwa Kristus ada dalam satu kodrat dengan Bapa dan Roh Kudus.