“Ingatlah, engkau ini abu dan akan kembali menjadi abu”. Inilah kata-kata yang diucapkan imam saat menandai dahi kita dengan abu atau menaburkannya di atas kepala kita dalam Perayaan Ekaristi pada hari Rabu Abu. Kata-kata ini berdasarkan Sabda Tuhan dalam Kitab Kejadian 3:19 yang ditujukan kepada manusia pertama sesudah jatuh dalam dosa: “Engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.”
Apakah ini artinya bagi kita? Pada saat ini, Bunda Gereja sedang mengundang kita untuk apa, serta menawarkan apa kepada kita? Apakah itu hanya sekedar ritus suci saja? Atau menjadi suatu tawaran yang menghadirkan kerinduan di kedalaman diri kita untuk merenungkan maknanya serta menanggapinya dengan sepenuh hati?
Kita manusia sungguh berasal dari debu tanah, dicipta karena cinta kasih Allah dan ditentukan untuk menjadi putra-putri-Nya yang disatukan di dalam kebahagiaan-Nya. Kejatuhan leluhur kita menunda terwujudnya rencana Allah bagi kita, namun tidak membatalkannya. Sabda Allah “Engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” adalah Sabda yang mengingatkan Allah sendiri bahwa ciptaan-Nya adalah “debu”; ketiadaan, yang berbeda dengan diri-Nya yang adalah keberadaan abadi – Roh. Kita ada berkat anugerah keberadaan dan akan tetap ada, hanya jika kita terhubung dengan-Nya.
Sabda: “Engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” bukan suatu kutukan, sebaliknya suatu peringatan yang mendorong kita untuk bersyukur atas anugerah keberadaan dan mengarahkan segala daya dalam diri kita pada sumber keberadaan ini – untuk menyatukan diri dengan-Nya. Sebab hanya dalam kesatuan dengan-Nya kita akan ambil bagian dalam keberadaan abadi bersama-Nya.
Inilah yang setiap tahun dibuat oleh Bunda Gereja bagi kita anak-anaknya, untuk mengingat asal kita sebagai manusia, kejatuhan kita dan pengharapan kita akan Allah yang mengasihi kita, serta kehendak-Nya untuk menjadikan kita anak-anak-Nya dalam kebahagiaan yang abadi.
Marilah kita bersyukur atas ingatan ini dan menympannya di dalam hati kita, agar melimpahkan buah kesadaran akan kesejatian ada kita.