4 Maret 2023

PEKAN I PRAPASKAH – SABTU


Cita-cita umat manusia yang lebih luas
 Pembacaan  dari Konstitusi Pastoral Gaudium Et Spes dari Konsili Vatikan II (GS 9-10)

 

Dunia modern menunjukkan diri berkuasa dan sekaligus lemah, mampu untuk perbuatan yang paling tinggi maupun yang paling rendah.  Di hadapannya terbentang jalan menuju kebebasan atau perbudakan, menuju kemajuan atau kemerosotan, menuju persaudaraan atau permusuhan.  Apalagi manusia menjadi sadar, bahwa kekuatan yang ia bebaskan, ada di dalam tangannya sendiri dan ia sendiri harus menguasainya, atau akan dikuasai olehnya.  Itulah sebabnya ia mulai bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.  Kalau dunia modern ternyata terbelah dua, maka hal itu sebenarnya hanya menunjukkan gejala, bahwa manusia sendiri pada tingkat yang lebih dalam, terbelah dua juga.

Manusia merupakan titik pertemuan banyak kekuatan yang saling bertentangan.  Dalam keadaannya sebagai makhluk yang diciptakan, ia dibatasi oleh seribu satu kekurangan, tetapi ia merasa tak terbatas dalam dambaan-dambaannya.  Ia merasa diperuntukkan bagi hidup yang lebih tinggi.  Ditarik-tarik oleh tegangan daya kekuatan yang bermacam-macam, manusia terpaksa harus memilih di antaranya dan menolak beberapa.  Lebih berat lagi: karena lemah dan dosa, manusia kerap kali membuat apa yang tidak ia kehendaki dan tidak melakukan yang ia inginkan.  Dan dengan demikian ia merasa dirinya terpecah-belah dan akibatnya timbul berbagai macam pertentangan dalam kehidupan sosial.

Memang, kebanyakan orang tidak dapat melihat situasi yang dramatis ini dengan jelas, karena pandangan mereka telah menjadi kabur.  Karena materialisme dalam kehidupan praktis sehari-hari, atau karena dalam keadaan yang menyedihkan, mereka sampai tidak dapat berpikir tentang hal itu.  Golongan lain menipu dirinya, bila beranggapan bahwa mereka telah menemukan ketenangan dalam pandangan hidup yang sedang berlaku sekarang.

Ada juga kelompok lain, yang menaruh harapannya pada peningkatan hidup manusia secara nyata dan menyeluruh.  Dengan usaha sendiri, manusia mengharapkan kedatangan firdaus masa depan, di mana semua dambaan hati akan terpenuhi.  Tidak jarang juga kita jumpai orang-orang, yang sudah kehilangan kepercayaan akan hidup.  Mereka memuji-muji semacam petualangan.  Mereka mau mengosongkan arti hidup sendiri dan mengisinya dengan rencana yang mereka buat.

Meskipun begitu, dalam menghadapi perkembangan-perkembangan masa sekarang, timbullah golongan orang yang semakin besar jumlahnya.  Mereka itu mempersoalkan masalah paling dasariah atau memandangnya dengan pengertian lebih tajam: Apakah manusia itu?  Apa arti kesengsaraan, kejahatan, kematian, yang tidak dapat dihapus dengan segala kemajuan itu?  Apakah semua yang telah tercapai itu layak dibayar dengan harga sebegitu tinggi?  Apa yang dapat disumbangkan oleh manusia kepada masyarakat?  Apa yang dapat diharapkan dari padanya?  Apa yang akan terjadi, kalau hidup di dunia sudah berakhir?

Gereja percaya, bahwa Kristus, yang wafat dan bangkit untuk semua, dapat menunjukkan jalan kepada manusia dan menguatkan mereka dengan Roh, sehingga Ia pantas menjadi tujuan mereka: dan tidak ada nama lain di bawah langit yang diberikan kepada manusia untuk menyelamatkan mereka.  Gereja juga percaya, bahwa kunci pusat dan arah tujuan seluruh sejarah manusia ada pada Tuhan dan Gurunya.  Gereja juga menyatakan, bahwa dalam semua pergolakan di zaman ini ada sebagian besar yang tetap tidak berubah.  Sebagian besar mendapatkan dasar paling dalam pada pribadi Kristus, yang tetap sama dahulu, sekarang, dan selama-lamanya.