“Keibuan Maria bagi Gereja adalah pantulan dan perluasan keibuannya bagi Putra Allah” (RM 24), demikian Yohanes Paulus II mengutip kata-kata Paus Leo Agung dalam ensikliknya: Redemptoris Mater.
Kapan keibuan Maria bagi Gereja dinyatakan? Di atas salib. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Yesus mengangkat Maria sebagai Bunda Gereja-Nya. “Dan dekat Salib Yesus, berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, istri Klopas dan Maria Magdalena. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya disampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah anakmu!” Kemudian kata-Nya kepada murid-Nya: “Inilah Ibumu!” dan sejak saat itu murid itu menerima dia dalam rumahnya” (Yoh 19: 25-27). Pada saat inilah Maria sebagai Bunda Tuhan diserahkan kepada Gereja.
Kata-kata Yesus di atas salib ini menunjukkan bahwa keibuan Maria yang melahirkan Kristus beroleh kelanjutan dalam Gereja dan melalui Gereja. Sejak saat itu Maria selalu hadir bersama Gereja dan sebagai Bunda dari Gereja: Tubuh Mistik Putranya. Dan ini berarti Gereja telah memiliki seorang ibu, dan ibu ini sama dengan ibu Tuhannya.
Sebagaimana dahulu Maria menjaga Yesus yang ada dalam rahimnya dengan penuh cinta kasih dan mendampingi pertumbuhan kanak-kanak Yesus, demikian pula sebagai Bunda Gereja, Maria menjaga kita, merawat kita dan mendampingi perkembangan kita sebagai Gereja dengan penuh cinta kasih. Bapa-bapa Konsili Vatikan II mengatakan:
“Dengan penuh cinta kasih ia memperhatikan saudara-saudara Putranya yang masih dalam peziarahan dan menghadapi bahaya serta kesukaran-kesukaran sampai mereka mencapai tanah air yang penuh kebahagiaan.” (Lumen Gentium 62)
Selayaknyalah kita bersyukur atas anugerah agung Bunda Maria. Semoga kita menyadarinya dalam hidup kita dan mampu selalu menanggapi kasih keibuannya dengan cinta bakti seorang anak, sebab hanya dialah yang mampu membimbing kita untuk dapat berseru dengan sukacita dan keyakinan iman: “Terjadilah kehendak-Mu” dalam setiap kejadian dalam hidup kita.