2 Juni 2023

PEKAN BIASA VIII – JUMAT


Kesaksian di dalam hati
Pembacaan dari uraian Paus Gregorius Agung tentang Kitab Ayub

 

‘Orang yang diolok-olok oleh kawannya, seperti yang saya alami, akan berseru pada nama Tuhan, dan Tuhan akan mendengarkan dia.’  Kerap kali jiwa yang lemah hanyut dalam kegembiraan lahiriah, karena pujian manusia atas perbuatannya yang baik.  Dengan demikian ia menyingkirkan apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hatinya, karena ia lebih menyukai hal-hal lahiriah, apa saja yang didengarnya dari orang lain.  Maka, ia bergembira, bukan karena sungguh bahagia, tetapi hanya karena disebut bahagia.  Dan karena haus akan kata-kata pujian, maka ia tinggalkan apa yang telah ia mulai.  Dengan kata lain, ia dipisahkan dari Allah, dalam cara yang seakan ia nampaknya terpuji dalam Allah.

Tetapi kadang-kadang jiwa yang tekun berusaha berbuat baik, malahan ditimpa kemalangan oleh ejekan orang.  Ia melakukan yang pantas dipuji, tetapi hanya penghinaan yang diterimanya.  Mungkin ia telah keluar dari dirinya sendiri, karena pujian oleh orang lain; lalu ia kembali masuk dalam dirinya ketika terpukul oleh hinaan orang.  Maka karena ia tidak dapat menemukan tempat untuk berteduh di luar dirinya, ia berpaut dengan lebih kuat pada Allah di dalam dirinya.  Seluruh harapannya dipusatkan pada Penciptanya, dan di tengah-tengah ejekan dan penghinaan, ia hanya memohon kesaksian yang dari dalam.  Orang yang  menderita demikian, menjadi semakin dekat dengan Allah, karena semakin menjadi asing di hadapan penghargaaan manusia.  Ia terus berkanjang dalam doa, dan karena terdesak dari luar, ia dimurnikan dengan lebih sempurna untuk menembus apa yang ada di dalam.

Maka dapat dikatakan, ‘Orang yang diolok-olok oleh kawannya seperti yang saya alami, akan menyebut Tuhan, dan Tuhan akan mendengarkannya.’  Sebab meskipun orang jahat dapat mencela jiwa yang baik, namun orang baik menunjukkan kepada mereka siapa yang harus dipanggilnya sebagai saksi atas perbuatan-perbuatannya.  Jadi dengan penderitaan yang menimpanya, jiwa orang baik diperkuat dengan doa; bersatu dalam dirinya dengan Dia Yang Mahatinggi, yang mendengarkan doa-doanya, justru karena jiwa tersebut terpisah dari pujian manusia di luarnya.  Tetapi baiklah kita memperhatikan dengan saksama bahwa tepatlah sisipan kata-kata ‘seperti saya’.  Sebab ada juga orang, yang sakit hati karena dihina oleh sesama, namun mereka itu tidak termasuk orang yang didengarkan oleh Tuhan; ketika mereka itu diolok-olok karena dosanya, pastilah mereka tidak akan mendapat ganjaran keutamaan karena ejekan itu.

‘Kesederhanaan orang jujur diejek dan ditertawakan.’  Kebijaksanaan dunia ini menutup perasaan dengan dalih, menyelubungi pikiran dengan kata-kata, untuk menunjukkan yang dusta sebagai benar, dan yang benar sebagai dusta.  Sebaliknya, kebijaksanaan orang jujur tidak pernah berpura-pura untuk pamer, ia selalu memakai kata-kata untuk mengungkapkan pikirannya, ia mencintai kebenaran sebagaimana adanya, dan menghindari apa yang palsu, ia melakukan yang benar tanpa ganjaran atau upah dan lebih rela menderita yang jahat daripada melakukannya; ia tidak ingin membalas perlakuan yang salah, dan menganggap sebagai keuntungan setiap hinaan demi kebenaran.  Tetapi ‘kesederhanaan orang jujur ini ditertawakan’, sebab keutamaan ketulusan murni itu dianggap bodoh oleh orang-orang bijak di dunia ini.  Apa saja yang dilakukan dalam ketulusan, dianggap bodoh oleh mereka, dan semua yang terbukti benar, disebut kebodohan oleh kebijaksanaan duniawi mereka.