PEKAN BIASA IX – RABU
Ajaran benar menghalau kesombongan
Pembacaan dari Uraian Santo Gregorius Agung, Paus, tentang Kitab Ayub
“Ayub, dengarkanlah dan camkanlah kata-kataku: Sekarang giliranku untuk mengatakan pendapatku kepadamu.” Pengajaran orang angkuh memiliki sifat berikut: ia tidak tahu bagaimana menyampaikan ajaran-ajarannya dengan rendah hati dan tidak mampu mengungkapkan dengan betul kepada orang-orang lain hal-hal yang sudah jelas bagi mereka sendiri. Dengan kata-kata sendiri, mereka mengkhianati apa yang mereka ajarkan; mereka memberi kesan bahwa mereka hidup di ketinggian yang mulia dan dari situ memandang rendah mereka yang mendengarkan pengajarannya. Para pendengarnya dianggapnya lebih rendah dan tidak layak diberi perhatian atau diajak bicara; sungguh, mereka sama sekali tidak berkenan berbicara dengan para pendengarnya – pengajar angkuh itu hanya menetapkan hukum.
Sabda Tuhan dengan perantaraan nabi itu tepat kena pada para pengajar seperti itu: “Engkau memerintah mereka dengan kekejaman dan kekerasan!” Tidak diragukan bahwa tidak mudah bagi mereka untuk memberi koreksi kepada bawahannya dengan ketenangan akal sehat. Mereka melakukannya dengan cara-cara kasar dan menguasai, memaksa mereka untuk berubah. Demikian mereka memerintah dengan kekejaman dan kekerasan.
Sebaliknya, pengajaran yang benar justru semakin efektif menghindarkan suara keangkuhan melalui refleksi, yang melawan si pengajar angkuh itu sendiri dengan kata-katanya. Diyakinkan bahwa bukan dengan cara yang angkuh pengajar mengkhotbahkan kata-kata suci untuk menyerang kesombongan dalam hati para pendengarnya. Pengajaran yang benar mengusahakan untuk mengajarkan dengan perkataan, dan juga menampilkan melalui teladan hidup, kerendahan hati, yang adalah ibu dan guru segala keutamaan. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan kerendahan hati kepada para murid yang sedang belajar kebenaran, lebih melalui perbuatan daripada melalui perkataan.
Inilah sebabnya, maka Paulus sendiri seakan-akan lupa akan kedudukannya yang unggul sebagai rasul, waktu ia berkata kepada umat di Tesalonika, ‘Kami sebagai anak kecil di antara kamu.’ Demikian juga Santo Petrus berkata, ‘Hendaklah kamu selalu siap sedia mempertanggungjawabkan kepada setiap orang yang menanyakan alasan dari harapan yang ada padamu.’ Dan untuk menekankan bahwa ajaran suci harus disampaikan dengan cara yang benar, ia menambahkan, ‘Tetapi lakukanlah itu dengan lembut hati dan rasa hormat, dan jagalah kebersihan hatimu.’
Kepada Titus, Paulus berkata dengan tegas, “Beritakanlah semuanya itu, nasihatilah dan yakinkanlah orang dengan segala kewibawaanmu.” Apa maksudnya? Paulus sungguh-sungguh menganjurkan, agar ajaran itu dapat dipercaya hendaknya terkait erat dengan tingkah laku yang baik daripada dengan kekuatan yang mau menguasai para murid. Bila orang melakukan sendiri sebelumnya apa yang diajarkannya, dan baru sesudahnya mengajarkannya, maka orang itu benar-benar mengajar dengan kuasa. Ajaran itu akan kehilangan daya untuk dipercaya, jika tidak ada kesatuan antara kata dan perbuatan. Oleh karena itu Paulus menekankan bahwa kepercayaan itu dibangkitkan oleh perbuatan-perbuatan baik dan bukan oleh kepandaian berbicara dengan kata-kata tinggi.
Tentang Tuhan Yesus dikatakan bahwa Dia berbicara dengan kuasa, tidak seperti ahli-ahli Kitab atau orang-orang Farisi. Hanya Dialah yang dalam cara yang khas dan penuh wibawa berbicara dari kuasa kebaikan-Nya; tidak ada kejahatan apa pun yang bisa membuat-Nya berdosa. Yang diberikan-Nya kepada kita berasal dari kuasa keilahian-Nya sendiri melalui hakikat manusiawi-Nya yang tanpa dosa.