30 Juni 2023

PEKAN BIASA XII – JUMAT


Harapan akan melihat Tuhan
Pembacaan dari Homili St. Gregorius dari Nissa tentang Sabda Bahagia

 

Janji Tuhan itu begitu besar, hingga melampaui segala batas kebahagiaan.  Sebab apa lagi yang bisa diinginkan seseorang, yang  sudah memiliki segala sesuatu dalam Dia yang dikontemplasikannya?  Sebab dalam Kitab Suci ‘melihat’ itu sama artinya dengan memiliki; misalnya, ‘Semoga engkau melihat semua yang baik di Yerusalem.’   Tidak dikatakan ‘Semoga engkau menemukan semua yang baik …’, yang adalah arti sebenarnya.  Atau: ‘Lenyaplah si jahat, supaya tidak melihat kemuliaan Tuhan’.  Nabi mengartikan ‘tidak melihat’ sebagai ‘tidak ikut ambil bagian’.  Maka orang yang telah melihat Allah, memiliki segala yang baik.  Dan ini berarti hidup tanpa batas, tak akan binasa selamanya, kebahagiaan kekal.  Dalam keadaan itu kita akan menikmati kerajaan abadi, penuh kebahagiaan yang tak ada habis-habisnya; kita akan melihat terang sejati, kita akan bergembira selama-lamanya dan mendengar suara merdu dari Roh.  Singkatnya, kita akan memperoleh kepenuhan berkat dalam kemuliaan yang tak terjangkau.

Sabda Bahagia, mengandung janji yang memenuhi harapan kita; suatu perwujudan yang begitu mulia!  Tetapi  karena ‘melihat’ itu tergantung dari ‘kemurnian hati’, memikirkan hal itu memusingkan kepala kita.  Mungkin benar bahwa ‘kemurnian hati’ itu mustahil dicapai, karena melampaui kodrat kita!  Kalau ‘melihat Allah’ itu tergantung pada kemurnian hati, sedangkan Musa dan Paulus tidak melihatnya, – malahan dikatakan bahwa mereka dan siapa pun saja tidak dapat melihat-Nya – maka jelaslah bahwa tidak ada orang yang dapat melihat Allah.  Tuhan nampaknya menyatakan sesuatu yang mustahil dalam Sabda Bahagia.

Sebab apa gunanya kita tahu, bagaimana orang dapat melihat Allah, kalau berpikir bahwa hal itu mustahil!  Itu sama saja dengan menyatakan bahwa orang di surga itu bahagia, sebab di sana orang memandang apa yang tidak dapat dilihat di dunia.  Kalau pernyataan itu juga menunjukkan sarana untuk pergi ke surga, memang ada gunanya; lalu pendengar mengerti, bahwa orang di surga itu bahagia.  Tetapi kalau pendakiannya itu mustahil, apa gunanya mengerti tentang kebahagiaan di surga?

Apakah Tuhan memerintahkan sesuatu yang terlampau besar, hingga sama sekali melampaui kodrat dan batas kemampuan manusia?  Tentu tidak!  Yang tidak diberi-Nya sayap, tidak disuruh-Nya menjadi burung dan terbang.  Begitu pula makhluk-makhluk, yang dari semula ditentukan untuk tinggal di daratan, tidak disuruh-Nya hidup di dalam air!  Dalam segala hal hukum disesuaikan dengan kemampuan mereka yang menerimanya!  Tidak ada apa pun yang dipaksakan, yang melampaui kodrat!  Maka kita harus menyadari juga bahwa Sabda Bahagia ini tidak mengemukakan sesuatu di luar harapan kita.  Yohanes, Paulus, Musa dan lain-lain seperti mereka, tentu tidak kurang menikmati kebahagiaan yang transenden, yang mengatasi segala, dalam melihat Allah.  Sebab Paulus berkata, ‘Bagiku telah disediakan mahkota kebenaran, yang akan diberikan kepadaku oleh Tuhan, hakim yang adil.’  Yohanes menyandarkan dirinya pada dada Yesus.  Dan Musa mendengar suara Allah yang berkata, ‘Aku mengerti akan engkau melebihi segala.’

Jadi tidak dapat disangsikan, bahwa Paulus, Yohanes dan Musa itu bahagia, meskipun mereka menyatakan bahwa melihat Allah itu mengatasi kekuatan manusia.  Di lain pihak, benar juga bahwa kebahagiaan itu intinya melihat Allah, dan ini tergantung dari kemurnian hati kita.  Dan sudah barang tentu kemurnian hati, jalan bagi kita untuk menjadi bahagia itu tidak mustahil.