13 Agustus 2023

HARI RAYA SANTA PERAWAN MARIA
DIANGKAT KE SURGA


Kesadaran akan sebuah tugas perutusan, kesatuan dengan Allah
Pembacaan Dari Ensiklik Mulieris Dignitatem
dari Bapa Suci Santo Yohanes Paulus II

 

Martabat sebagai wanita erat berkaitan dengan cinta yang ia terima karena alasan kewanitaannya; juga berkaitan dengan cinta yang ia berikan kembali.  Kebenaran mengenai pribadi dan cinta lalu diteguhkan.  Sehubungan dengan kebenaran mengenai pribadi, kita mesti kembali pada konsili Vatikan II: “Manusia, yang di dunia ini merupakan satu-satunya makhluk yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri, tidak dapat menemukan diri sepenuhnya tanpa dengan tulus hati memberikan dirinya.”  Hal ini berkenaan dengan setiap manusia, sebagai seorang pribadi yang tercipta menurut gambar Allah, baik pria maupun wanita.  Afirmasi ontologis ini juga menunjukkan dimensi etis dari panggilan seorang pribadi.  Wanita hanya dapat menemukan dirinya dengan memberikan cintanya kepada orang lain.

Sejak “awal”, wanita – seperti halnya dengan pria – diciptakan dan “ditempatkan” oleh Allah di dalam perintah cinta ini.  Dosa orang tua pertama tidak menghancurkan perintah ini dan juga sama sekali tidak membatalkannya.  Ini terbukti oleh kata-kata Proto-Evangelium (lih. Kej 3:15).  Renungan-renungan kita telah berpusat pada tempat istimewa yang diduduki oleh “wanita” dalam teks kunci perwahyuan ini.  Juga patut dicatat, betapa wanita yang sama, yang memperoleh kedudukan sebagai sebuah “model” biblis, tampil dalam pandangan eskatologis mengenai dunia dan manusia dalam Kitab Wahyu.  Dia adalah “seorang perempuan yang berselubungkan matahari”, dengan bulan di bawah kakinya, dan sebuah mahkota dari bintang-bintang di atas kepalanya (lih. Why 12:1).

Dapat dikatakan bahwa dia adalah seorang wanita skala dunia, sebuah skala dimana terdapat seluruh karya ciptaan.  Tetapi sekaligus juga ia “menderita kepedihan dan sakit pada waktu melahirkan anak” (Why 12:2) seperti Hawa, “ibu segala yang hidup” (Kej 3:20).  Ia juga menderita karena “di hadapan perempuan yang hendak melahirkan itu” (Why 12:4) berdirilah “naga besar… si ular tua” (Why 12:9), yang sudah dikenal dari Proto-Evangelium: iblis, “bapa segala dusta” dan dosa (lih. Yoh 8:44).  Si “ular tua” hendak menelan “sang anak”.  Seraya melihat dalam teks ini suatu gema dari cerita masa kanak-kanak Yesus (lih. Mat 2:13,16), kita juga dapat melihat bahwa perjuangan melawan kejahatan dan iblis menandai model “wanita” biblis sejak awal hingga akhir sejarah.  Hal ini pun merupakan sebuah perjuangan bagi pria, untuk kebaikannya yang sejati, untuk keselamatannya.  Bukankah Kitab Suci berusaha mengatakan kepada kita bahwa justru dalam diri seorang “wanita” lah –Hawa–Maria– sejarah menyaksikan suatu perjuangan yang dramatis bagi setiap orang, perjuangan yang amat mendasar dari setiap wanita dan pria untuk memberikan jawaban “ya”atau “tidak” kepada Allah dan rencana-Nya yang kekal untuk manusia?

Justru seorang wanitalah yang kita temukan pada pusat peristiwa keselamatan ini.  Maria –”wanita” dari kitab Suci– secara mendalam menjadi bagian dari misteri keselamatan Kristus dan karena itu juga hadir dalam cara yang khusus di dalam misteri Gereja.  Maria memperoleh suatu kesatuan dengan Allah yang melampaui semua harapan manusia.  Bahkan hal ini melampaui harapan-harapan seluruh Israel, khususnya putri-putri dari bangsa terpilih, yang berdasarkan Perjanjian, dapat mengharapkan bahwa seorang dari antara mereka akan menjadi Bunda Mesias.  Akan tetapi siapakah dari antara mereka pernah membayangkan bahwa Mesias yang terjanji itu adalah “Anak dari Yang Mahatinggi?”  Berdasarkan iman Perjanjian Lama yang monoteistik, hal seperti itu sulit dibayangkan.  Hanya oleh kuasa Roh Kudus yang “menaungi” dia, Maria sanggup menerima apa yang tidak mungkin bagi manusia, tetapi tidak demikian bagi Allah” (lih. Mrk 10:27).  Sekaligus melalui tanggapan imannya, Maria melaksanakan kehendak bebasnya dan dengan demikian sepenuhnya memberikan “aku”-nya yang pribadi dan penuh kewanitaan dalam peristiwa inkarnasi.  Maria adalah “awal baru” dari martabat dan panggilan kaum wanita, baik masing-masing maupun segenap wanita.