20 Oktober 2023

PEKAN BIASA XXVIII – JUMAT


Di setiap tempat
ada korban dan persembahan murni
dihunjukkan demi nama-Ku
Pembacaan dari buku “Kota Allah”  oleh St.  Agustinus

 

Setiap perbuatan yang mempersatukan kita dengan Allah dalam persekutuan kudus, adalah kurban sejati, karena perbuatan itu diarahkan kepada tujuan terakhir yang memungkinkan kita mengalami kebahagiaan sejati.  Atas dasar itu, maka tindakan belas kasih bagi sesama pun bukanlah korban sejati, kalau tidak dilakukan demi Allah.  Menurut istilah para pengarang Latin kuno, pengorbanan itu adalah “soal ilahi”, karena terkait dengan sesuatu yang kudus, walaupun hal itu dilaksanakan dan dipersembahkan oleh manusia.  Maka seorang yang dikonsekrasikan (dikuduskan) dalam nama Allah, dan diikrarkan kepada Tuhan, dengan sendirinya sudah merupakan korban, sejauh ia sudah mati bagi dunia, untuk hidup bagi Tuhan.  Hal ini juga ada hubungannya dengan belas kasih atau “compassio”, belas kasih yang diperuntukkan manusia bagi dirinya sendiri.  Maka ada tertulis, “Berbelaskasihlah kepada jiwamu sendiri, dengan membuat dirimu berkenan kepada Allah.”

Jadi, korban yang sejati itu adalah perbuatan belas kasih, entah bagi diri sendiri, entah bagi sesama, kalau diarahkan kepada Allah; dan tindakan belas kasih itu dimaksudkan untuk membebaskan kita dari kesengsaraan dan dengan demikian membawa kita kepada kebahagiaan, yang hanya dicapai oleh kebaikan, seperti dituturkan, “Bagiku, kebaikan sejati itu berpaut pada Tuhan” atau  “Aku suka dekat pada Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan.”

Dengan demikian, kesimpulannya adalah: seluruh kota yang telah ditebus yaitu jemaat dan persekutuan para kudus, dipersembahkan kepada Tuhan sebagai korban universal dengan perantaraan Imam Agung, yang dalam sengsara-Nya mempersembahkan diri-Nya sendiri bagi kita, dalam wujud hamba, agar kita dapat menjadi tubuh dari Kepala yang begitu mulia.  Wujud hamba inilah yang dipersembahkan-Nya, dan dalam wujud inilah Ia dipersembahkan, sebab dalam wujud ini Ia adalah pengantara, dalam wujud ini Ia adalah imam, dalam wujud ini Ia adalah korban.

Maka pertama-tama, rasul menasihatkan kita untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah, sebagai ibadah kita yang sejati.  Jadi, janganlah kita jadi “se-rupa” (con-formed) dengan dunia ini, tetapi “ganti rupa” (re-formed) dengan pembaruan budi untuk dapat menegaskan apa yang menjadi kehendak Allah, yaitu apa yang baik, apa yang berkenan kepada Allah, apa yang sempurna, karena kita sendirilah korban itu seutuhnya.  Dan setelah anjuran ini, rasul melanjutkan, “Berdasarkan kasih karunia, yang diberikan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu:  Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran masing-masing.  Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus, tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.  Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia, yang dianugerahkan kepada kita.”

Inilah korban seluruh umat Kristen, yang banyak jumlahnya, tetapi merupakan satu tubuh dalam Kristus.  Inilah korban, yang oleh Gereja senantiasa dirayakan dalam Sakramen Mahakudus, Sakramen yang sangat dikenal oleh umat beriman.  Dalam Sakramen itu dinyatakan kepada Gereja, bahwa  dalam korban yang dipersembahkannya, ia sendirilah yang dipersembahkan.