2 November 2023

Peringatan Arwah
semua orang beriman


Kita harus mati bersama Kristus, kalau ingin hidup bersama Dia
Pembacaan dari buku St.  Ambrosius* tentang kematian Satirus, saudaranya

 

Sudah jelas, bahwa kematian itu merupakan keuntungan, dan hidup itu suatu hukuman.  Santo Paulus berkata, “Bagiku, hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan.”  Apa arti Kristus bagi kita di sini, selain kematian bagi tubuh dan nafas hidup?  Maka kita harus mati bersama Dia agar hidup bersama Dia.  Dalam diri kita sehari-hari harus ada kebiasaan dan kesediaan untuk mati, agar jiwa kita belajar melepaskan semua keinginan daging dan mengenakan kesamaan seperti dalam kematian, melihat segala ketinggian surga, lepas dari nafsu keinginan dunia, yang tidak dapat mengikat jiwa pada dirinya, hingga akan bebas dari hukuman kematian rohani.  Hukum daging, kita tahu, melawan hukum budi, dan menjerumuskannya dalam hukum kesesatan.  Dan apa obat yang kita punya?  Siapa yang akan membebaskan aku dari tubuh maut?  Rahmat Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, Tuhan kita.

Memang kita punya seorang tabib.  Maka marilah kita menggunakan obat-Nya.  Obat kita adalah rahmat Kristus, dan “tubuh maut” berarti kodrat jasmani kita.  Maka kita harus mengasingkan diri dari tubuh kita, agar kita tidak terasing dari Kristus.  Bahkan kendatipun kita masih ada di dalam tubuh, kita tidak boleh menginginkan barang-barang daging, dan meski tidak meniadakan semua keinginan kodrati, kita harus menghargai kurnia rahmat melebihi segalanya.

Apa yang akan kukatakan lagi?  Dunia sudah ditebus oleh kematian satu orang.  Kristus tidak perlu mati, jikalau Ia tidak menghendakinya.  Tetapi Ia beranggapan, kematian hina tidak perlu dihindarkan, dan tidak ada jalan lebih baik bagi kita daripada kematian.  Demikian kematian-Nya menjadi kehidupan bagi semua orang.  Kita ini ditandai dan dimeterai dengan kematian-Nya.  Kematian-Nyalah yang kita nyatakan, kalau kita berdoa; yang kita wartakan kalau kita mempersembahkan korban.  Kematian-Nya adalah kemenangan dan sakramen, dan setiap tahun peristiwa itu merupakan perayaan yang paling besar di dunia.

Apalagi yang dapat kukatakan tentang kematian-Nya?  Kita tahu dari contoh ilahi-Nya, bahwa bahaya maut mencapai keadaan tidak dapat mati, bahwa maut sendiri menebus maut.  Maka apakah perlu diratapi, kalau maut merupakan penyebab keselamatan bagi semua?  Apa kita harus menghindarinya, kalau Putra Allah tidak menghinakannya, tidak menjauhinya?

Memang benar, maut bukan bagian dari kodrat, tetapi dijadikan bagiannya kemudian.  Allah tidak mengatur adanya maut pada permulaan; tetapi Ia memberikannya kepada kita sebagai obat, ketika dosa terkutuk membawa derita, dan air mata mengalir dalam kehidupan manusia.  Penderitaan ini harus diakhiri, hingga maut mengembalikaan apa yang dibuang oleh hidup.  Tidak mati itu lebih merupakan beban daripada manfaat, kecuali jika rahmat mengubahnya!

Jiwa kita harus membebaskan diri dari penderitaan hidup ini dan dari noda kodrat manusia yang sudah jatuh.  Jiwa harus berjuang untuk menemukan jalannya menuju persatuan di surga, tanpa gentar membawa pemikiran, bahwa para sucilah yang berwenang untuk mencapainya; para sucilah yang menyanyikan pujian bagi Tuhan dengan iringan suara kecapi. Pujian ini dapat dibaca dalam Kitab Wahyu:  “Agung dan mengagumkan perbuatan-Mu, ya Tuhan, Allah kami yang mahakuasa!  Adil dan benarlah jalan-jalan-Mu, O Raja segala abadi!  Siapakah yang tidak akan takut lalu memuliakan nama-Mu, ya Tuhan?  Sebab hanya Engkaulah kudus!  Semua bangsa akan datang dan menyembah Engkau.”

Ya Yesus, keistimewaan para sucilah bahwa mereka boleh menyaksikan peralatan-Mu, di mana pengantin diarak dari rumah di dunia masuk ke kediaman di surga.  Kata pemazmur, “Semua daging akan datang kepada-Mu.”  Ia datang diikuti dengan kidung gembira, tidak tertambat lagi pada dunia, tetapi untuk selamanya terikat pada Roh.  Inilah yang diinginkan Daud suci melebihi segala: melihat semua ini dengan mata yang mengerti.  Akhirnya ia berkata, “Satu hal yang kuminta kepada Tuhan, inilah yang kucari: Agar aku boleh diam di rumah Tuhan selama hari hidupku, agar aku boleh melihat kemuliaan Tuhan.”

 


*) Th. 334 – 397. Uskup Milan (Italia) dan pujangga Gereja; penuh pengabdian terhadap umatnya; pembimbing ulung hidup rohani umat, dan pandai mengatur liturgi hari Minggu sehingga menarik, dan umat ikut serta secara aktif.