Rabu Abu

Ada sukacita di hari yang berkesan kelam ini, saat kita memulai puasa Prapaskah, yang ditawarkan tradisi Gereja sebagai ungkapan konkrit penyangkalan diri untuk mengikuti Kristus.  Sebab Prapaskah bukanlah masa penghukuman melainkan penyembuhan, saat metanoia untuk mengarahkan seluruh pikiran dan hati kepada Tuhan; mempersiapkan kita untuk bersukacita dalam misteri Paskah: kemenangan definitif Kristus atas dosa dan maut.

Salib abu yang dioleskan di dahi kita bukan sekedar pengingat akan kematian tetapi jaminan akan kebangkitan, janji kehidupan.  Pernyataan bahwa kita “akan kembali menjadi debu” bukanlah penghakiman melainkan tantangan untuk perjuangan rohani, agar kematian kita adalah “di dalam Kristus” supaya dapat bangkit bersama Dia kepada “hidup bagi Tuhan”; sungguh suatu panggilan kepada puasa, penitensi dan compunctio –kepedihan penyesalan yang menusuk, tetapi yang membebaskan dan memberi harapan karena mendatangkan berkat terbesar: terang kebenaran dan rahmat kerendahan hati.

Liturgi hari ini bukan berfokus pada dosa kita tetapi pada kerahiman Tuhan.  Dosa dinyatakan justru karena inilah saat kerahiman, dan orang benar tidak membutuhkan Penyelamat.  Kita datang menghadap Tuhan untuk menerima abu dari tangan imam karena mengakui kedosaan kita; dan penerimaan akan kenyataan keberadaan kita yang sesungguhnya selalu merupakan pembebasan dari beban ilusi yang seringkali kita pertahankan.  Dengan menaruh salib abu yang ringan pada kita, Gereja hendak mengambil dari pundak kita semua beban lainnya: beban kecemasan, rasa salah berlebihan dan beratnya cinta diri yang mematikan.  Gereja memandang penitensi lebih sebagai pembebasan daripada beban.  Penitensi hanya menjadi beban jika dijalani dengan terpaksa sebab Kasih menjadikannya ringan dan membahagiakan.

Ada sukacita tatkala kita mengoyakkan hati, membiarkan dosa keluar untuk membiarkan masuk belas kasih Tuhan yang menyembuhkan dan mengutuhkan jiwa, mengeluarkan kita dari ketertutupan diri manusia lama kita yang terbebani oleh kebosanan dan kelelahan keberadaan yang acuh tak acuh.  Abu yang diberkati dan disucikan dengan tanda salib menjadi obat spiritual yang menganugerahkan pengampunan yang kita mohon dengan menerima abu tersebut, mempersenjatai kita dengan segala rahmat yang diperlukan dalam perang suci Prapaskah.  Pendek kata, abu menandai seluruh keberadaan kita dengan berkat Tuhan yang penuh belas kasih.

 

Mari, bersama seluruh Gereja kita mohon agar kita tidak menyia-nyiakan kelimpahan rahmat yang dianugerahkan Tuhan hari ini untuk menjalani masa Prapaskah sebagai persiapan untuk bersukacita sepenuhnya dalam Paskah bersama-Nya!