MINGGU PRAPASKAH IV
Tuhan tidak menyayangkan Putera-Nya
tapi menyerahkan-Nya bagi kita semua
Uraian tentang Penyelenggaraan Allah oleh Yohanes Krisostomus, Uskup
Meskipun kita memuji Tuhan kita bersama karena segala macam alasan, namun kita memuji dan meluhurkan pertama-tama karena salib. Salib itu memenuhi kita dengan perasaan kagum untuk memandang Dia yang sedang meninggal seperti seseorang yang terkutuk. Bagi umat seperti kita, salib itu merupakan kematian yang sedang terus-menerus dipandang oleh Paulus sebagai tanda cinta kasih Kristus bagi kita. Dia melampaui segala-galanya sehingga Kristus melakukannya bagi keuntungan dan penghiburan kita serta tak putus-putusnya tinggal di atas salib. Santo Paulus berkata: “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” kemudian di dalam kalimat berikut, dia memberi kita harapan yang sangat tinggi: “Ketika kita masih seteru, kita diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya.” Di atas segala-galanya itulah yang menjadikan Paulus begitu bangga, bagitu bahagia dan begitu penuh sukacita serta kegembiraan yang meluap-luap, ketika dia menulis surat kepada jemaat di Galatia: “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus” betapa tidak mengherankan, jika Paulus bersukacita dan memuliakan salib Tuhan, ketika Tuhan sendiri berbicara tentang penderitaan-Nya itu sebagai kemuliaan-Nya. Yesus berdoa: “Ya Bapa, saatnya telah tiba, permuliakanlah Putra-Mu.”
Murid yang mencatat hal-hal itu juga berkata kepada kita bahwa Roh Kudus belum datang di antara mereka karena Yesus belum dimuliakan. Di dalam kata-kata itu dia berbicara tentang Salib sebagai kemuliaan Tuhan. Ketika murid yang sama itu ingin melukiskan cinta kasih Allah, apakah dia melakukan begitu dengan menunjuk kepada tanda-tanda, perbuatan-perbuatan ajaib, atau mukjizat-mukjizat semacam itu? Sama sekali tidak, dia menunjuk kepada salib, sambil berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Dan Rasul Paulus berkata: “Ia yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?
Malah bila dia mendesak para pembacanya untuk bersikap rendah hati, Paulus mendasarkan ajakannya itu atas teladan salib, sambil mohon kepada mereka untuk mempunyai pengertian yang sama seperti Kristus Yesus, yang meskipun Dia itu memiliki kodrat yang sama seperti Allah, toh tidak ingin mempertahankan kesamaan-Nya itu dengan Allah, tetapi dengan mengosongkan diri-Nya dan dengan mengambil kodrat seorang hamba, Dia mengambil bentuk manusia. Dan sebagai yang diwahyukan dalam kemanusiaan-Nya, Dia merendahkan diri-Nya, sambil mengikuti jalan ketaatan, tidak hanya sampai mati, tetapi sampai mati di salib. Demikian pula dalam membicarakan soal cinta kasih, Rasul Paulus mendesak agar kita harus mengasihi satu sama lain seperti Kristus mengasihi kita, sambil memberikan diri-Nya bagi kita bagaikan suatu persembahan dan korban yang harum mewangi bagi Allah.
Kini ketika Kristus menerangkan betapa Dia sangat merindukan apa yang harus tiba dan betapa Dia mendambakan saat penderitaan-Nya, reaksi Petrus, sebagai yang pertama dari para Rasul, pendasar Gereja dan pemimpin para murid, harus berseru dalam ketidaktahuannya: “Tidak, ya Tuhan! Hal itu tidak akan terjadi atas diri-Mu.” Tetapi Kristus menjawab: “Enyahlah iblis, engkau suatu batu sandungan bagi-Ku.” Teguran yang sangat keras itu mengungkapkan keinginan Tuhan yang sangat besar untuk menjalani apa yang terletak di hadapan-Nya. Betapa salib itu bersinar secara cemerlang bagi Kristus selama hidup-Nya di dunia. Tidak mengherankan Dia menyebut salib itu sebagai kemuliaan-Nya, dan rasul Paulus menjadikan salib itu sebagai kebanggannya.