PEKAN BIASA VIII – SENIN
Kita menerima yang baik dari Tuhan!
Mengapa kita tidak mau menerima yang buruk?
Pembacaan dari Refleksi MORALIA Paus Gregorius Agung tentang Kitab Ayub
Suatu ketika, saat Paulus memandang kekayaan rohani yang ada di dalam dirinya, ia melihat pada tubuhnya yang dapat binasa, dan berkata, “Kita membawa harta mulia ini dalam bejana tanah liat.” Jadi bersama dengan orang suci Ayub, bejana tanah liat ini merasakan diri penuh luka menganga, tetapi harta itu tetap utuh di dalamnya. Lapisan luar penuh luka menganga, tetapi harta hikmat tak henti-hentinya mengalir dari dalam, dan memancar keluar dalam kata-kata penuh ajaran suci: ‘Kita mau menerima yang baik dari Allah! Masakan kita tidak mau menerima yang buruk!’
Dengan yang baik dimaksudkan kurnia-kurnia Tuhan, entah yang sementara, entah yang abadi; dan dengan yang buruk dimaksudkan kesusahan atau penderitaan di masa sekarang, yang ditentukan oleh Tuhan lewat sabda nabi, “Aku ini Tuhan, dan tidak ada lainnya. Akulah yang membentuk terang, Aku pulalah yang menciptakan gelap. Akulah yang membuat damai dan menciptakan kejahatan.”
“Akulah yang membentuk terang dan menciptakan gelap.” Maksudnya: Jika kegelapan sengsara diakibatkan oleh pukulan dari luar diri kita, cahaya akal budi dinyalakan dengan ajaran dari dalam. “Akulah yang membuat damai dan menciptakan kejahatan.” Maksudnya: damai dengan Allah dipulihkan kembali, apabila barang-barang yang diciptakan dengan baik, namun diinginkan secara salah, berubah menjadi semacam cambuk yang kita anggap “jahat”. Karena dosa, kita ini hidup bertentangan dengan Allah, maka sepantasnya kita diarahkan kembali kepada damai dengan cambuk; sehingga sebagaimana setiap ciptaan, yang diciptakan dengan baik, berubah menjadi penderitaan bagi kita, demikian pula akal budi manusia yang dimurnikan, dapat, dalam keadaan yang direndahkan, dijadikan baru dalam damai dengan Penciptanya.
Kita harus memperhatikan pembelokan yang terampil dari refleksi Ayub, bagaimana ia bangun tegak untuk menghadapi bujukan istrinya. Ia berkata, “Kita mau menerima yang baik dari Allah! Masakan kita tidak mau menerima yang buruk?” Sebab banyak penghiburan yang kita terima dalam penderitaan, jika semasa mengalami kesedihan, kita mengingat kembali karunia-karunia Pencipta kita. Hal-hal yang menyakitkan pun tidak akan menekan kita, apabila pada saat itu kita mengenang kembali kurnia-kurnia yang menggembirakan kita. Karena telah tertulis, “Pada hari-hari makmur sejahtera, kemalangan dilupakan, dan pada hari-hari malang, kesejahteraan tidak diingat.”
Barangsiapa menerima kurnia Tuhan, dan pada hari itu lupa akan kesusahan yang dapat menimpanya, ia direndahkan karena kegembiraaan yang sombong. Sebaliknya, barangsiapa menderita banyak pukulan, memar oleh cambuk, dan dalam keadaan demikian lalai untuk menghibur dirinya dengan kurnia-kurnia yang telah diberikan kepadanya, ketabahan hatinya akan dilemparkan, oleh keputusasaan dalam segala segi.
Kedua-duanya harus dipadukan, sehingga yang satu selalu mendapat dukungan dari yang lain. Demikian ingatan akan kurnia dapat meringankan derita dalam kesedihan, dan takut akan kesusahan dapat meredakan kegembiraan yang sedang dinikmati. Demikianlah orang suci mengurangi depresi tekanan batin dalam menderita luka-lukanya! Ia meringankan sakit kepedihan dengan selalu ingat akan manisnya menerima hiburan. Setiap kali menderita, ia berkata, “Kita mau menerima yang baik dari Allah! Masakan kita tidak mau menerima yang buruk?”