PEKAN BIASA IX – SELASA
Kedamaian spiritual yang palsu
Pembacaan dari Kumpulan Pengajaran St. Doroteus, Abas
Berbahagialah orang yang mau mengakui kesalahannya sendiri dan dapat menerima segala sesuatu dengan gembira – kemalangan, hinaan, cercaan, dan kejahatan lain apa pun! Ia menganggap diri pantas menerima semua itu, dan sama sekali tidak ada apa-apa yang membuatnya merasa terganggu. Siapa yang dapat mengalami damai lebih besar daripada orang yang demikian?
Mungkin ada orang yang membantah, ‘Tetapi kalau ada saudara yang melukai saya, dan sesudah meneliti diri, saya tidak menemukan alasan yang menyebabkan saudara itu bertindak demikian, maka saya merasa tidak bersalah; bagaimana saya dapat mempersalahkan diri saya?’
Sebenarnya, apabila seseorang memeriksa dirinya secara teliti dalam terang takut akan Allah, ia tidak pernah akan menemukan dirinya sama sekali tanpa salah. Ia akan menyadari bahwa mungkin ia telah memancing reaksi orang lain itu dengan perbuatan, kata-kata atau sikapnya. Bahkan kalau ia memang pada waktu itu tidak menemukan kesalahan seperti itu, namun pasti di waktu lain ia pernah menyakiti saudaranya. Atau mungkin ia telah menjengkelkan seorang saudara lain. Maka sudah selayaknya ia menanggung penghinaan ini karena banyak dosa lain, yang pernah ia lakukan pada kesempatan-kesempatan lain.
Seorang lain mungkin bertanya, untuk apa ia harus mengaku diri bersalah, kalau ia sedang duduk tenang dan santai, ketika ada saudara yang datang dan melontarkan kata-kata yang menusuk atau menghina? Ia tidak dapat bersikap toleran, dengan demikian ia berpikir bahwa kejengkelannya itu dapat dibenarkan. Sebab seandainya saudara itu tidak mendekatinya dan tidak melontarkan kata-kata yang membuat dia marah, niscaya ia tidak berdosa.
Pemikiran semacam ini sungguh tidak masuk akal dan tidak punya dasar rasional. Sebenarnya kenyataan bahwa ia tidak mengatakan apa-apa dalam situasi ini telah membongkar topeng nafsu kemarahan yang ada di dalam hatinya, yang justru tersingkap oleh kecemasannya yang berlebihan. Jika ia mau, ia dapat menyesalinya. Ia telah menjadi seperti sebutir gandum yang gilap dan bersih, tetapi ketika ditumbuk, nampak di dalamnya penuh kotoran. Orang itu, yang berpikir bahwa ia tenang dan damai, sesungguhnya memiliki di dalam hatinya nafsu amarah yang tidak nampak olehnya. Hanya karena sepatah kata yang tidak ramah, yang diucapkan orang lain secara kebetulan, seluruh bisa dan kebusukan yang tersembunyi segera tersembur keluar.
Kalau ia ingin mendapat belas kasihan, biarlah ia melakukan penitensi, membersihkan diri, dan berjuang untuk menjadi lebih baik. Lalu ia akan menyadari, bahwa daripada membalas dengan kejahatan, ia justru harus berterima kasih, karena sebetulnya saudara itu berjasa baginya. Dengan demikian, dengan cepat ia tidak akan terganggu oleh godaan-godaan semacam itu.
Semakin orang tumbuh menuju kesempurnaan, semakin mudah ia dapat menghadapi godaan-godaan. Sebab semakin jiwa itu maju, jiwa menjadi semakin kuat dan lebih berdaya untuk menghadapi kesulitan apa saja yang dijumpainya.