16 Juni 2024

MINGGU BIASA XI


Doa hendaklah diucapkan dengan rendah hati
Pembacaan dari Uraian St. Siprianus* tentang Doa Bapa Kami

 

Kalau kita berdoa, kata-kata dan permohonan kita harus teratur rapi.  Harus ada suasana ketenangan dan kesederhanaan.  Hendaklah kita ingat, bahwa kita berdiri di hadapan Tuhan: maka sikap tubuh dan nada suara harus berkenan kepada-Nya.  Orang kasar berteriak keras, sebaliknya orang sederhana berdoa dengan tenang.  Apalagi, Tuhan sendiri dalam ajaran-Nya menganjurkan kepada kita, agar berdoa di tempat sunyi, di tempat yang jauh tersembunyi, bahkan di dalam kamar tidur kita.  Hal ini lebih sesuai dengan iman kita, sebab kita tahu: Tuhan ada di mana-mana, Ia melihat dan mendengar segala, dan melalui kepenuhan keagungannya Ia dapat menembus bahkan tempat-tempat yang tersembunyi dan rahasia.  Sebab ada tertulis,  ‘Aku ini Allah yang dekat, bukan Allah yang jauh.  Kalau orang menyembunyikan diri di tempat yang rahasia, apakah Aku tidak akan mengetahuinya?  Apakah Aku tidak memenuhi surga dan bumi?’  Dan lagi, ‘Mata Tuhan ada di mana-mana, mengawasi yang jahat dan yang baik.’

Kalau kita berkumpul bersama saudara-saudara kita dan merayakan korban suci bersama dengan imam Allah, kita harus menjaga kesederhanaan dan ketertiban.  Kita tidak boleh berdoa dengan ungkapan panjang lebar atau meluncurkan semburan permohonan yang tak ada habis-habisnya.  Sebab permintaan harus kita sampaikan dengan sederhana.  Tuhan mendengarkan, bukan suara kita, melainkan hati kita!  Ia membaca pikiran kita; maka kita tidak perlu menarik perhatian-Nya dengan berteriak.  Tuhan membuktikan hal ini dengan berkata, ‘Mengapa kamu berpikir jahat di dalam hatimu?’  Dan di tempat lain kita baca, ‘Semua jemaat harus tahu, bahwa Akulah yang menyelidiki budi dan hati.’

Hana, lambang Gereja dalam Kitab Pertama Samuel, patuh dan taat akan hal ini.  Sebab ia berdoa kepada Allah, tidak dengan suara keras mengucapkan permintaannya, tetapi dengan diam, di dalam hatinya.  Doanya tersembunyi, tetapi imannya sungguh nyata, Ia berbicara, bukan dengan suaranya, tetapi dengan hatinya!  Sebab ia tahu, bahwa Tuhan mendengarkan doa semacam itu.  Dan sungguh, ia mendapatkan apa yang dimintanya, karena ia minta dengan cara yang benar.  Kitab Suci menjelaskan, ‘Ia berkata-kata dalam hatinya, dan hanya bibirnya bergerak-gerak, tapi suaranya tidak kedengaran; dan Tuhan mendengarkan doanya.’  Demikian juga kita baca di dalam Mazmur, ‘Berbicaralah di dalam hati, dan menyesallah di tempat tidurmu.’  Dengan perantaraan Nabi Yeremia Roh Kudus mengajarkan hal yang sama, ‘Dalam hati, ya Tuhan, kami wajib menyembah Dikau.’

Saudara-saudara terkasih, marilah kita memperhatikan bagaimana si pemungut cukai dan orang Farisi itu berdoa di dalam Bait Allah.  Pemungut cukai itu tidak mengarahkan matanya dengan sombong ke surga, dan tidak dengan angkuh mengangkat tangannya.  Ia menepuk-nepuk dada, mengakui adanya dosa yang tersembunyi di sana, dan mohon belas kasih Tuhan.  Sebaliknya, orang Farisi itu puas akan dirinya.  Maka justru si pemungut cukailah yang memperoleh penyucian, karena ia memintanya dengan cara yang benar.  Ia tidak mengharapkan keselamatan dengan yakin bahwa dirinya tanpa dosa, –sebab nyatanya tidak seorang pun bebas dari dosa,– melainkan ia mengakui dosa-dosanya dan berdoa dengan rendah hati.  Dan Tuhan, yang mengampuni orang yang rendah hati, mendengarkan doanya.

 


* Tahun 210-258.  Uskup Kartago (Afrika Utara).  Kebaikan hati dan kepemimpinannya sangat menyentuh hati umat; maka ia amat dicintai.  Pada masa Kaisar Valerius umatnya dikejar-kejar karena tidak mau menyembah dewa-dewa, dan ia sendiri ditangkap, diasingkan, dan akhirnya dibunuh sebagai martir.