Kerendahan Hati

Allah  pencipta masuk dalam kekecilan ciptaan-Nya, mau turun, agar bisa berelasi dengan ciptaan-Nya untuk membawa umat-Nya kembali kepada-Nya, masuk dalam rencana semula.  Itulah kerendahan hati Allah.  Bagi kita di jaman sekarang ini, mungkin kata kerendahan hati tidak menarik dan kadang dirancu dengan keadaan  rendah diri, tak berharga.  Hal ini nyatanya sama sekali berbeda.  Kerendahan hati adalah kenyataan manusia dalam kebenaran yang sempurna, yaitu menyadari bahwa kita manusia yang diciptakan, lemah dan terbatas, ada kelebihan dan kekurangannya, diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu.  Tetapi oleh kebaikan Allah, kita dijadikan mampu untuk mengambil bagian dalam rencana keselamatan sejauh kita tetap ingat akan keadaan kita.  Dengan tinggal dalam kebenaran itu, kita mengalami damai dan sukacita.

Paus Fransiskus dalam audiensi terakhirnya tentang keutamaan, mengatakan bahwa kerendahan hati adalah dasar hidup Kristiani.  Kesombongan atau keangkuhan menjadikan hati manusia bengkak, lebih dari kebenarannya, sedangkan kerendahan hati mengembalikan segalanya dalam ukuran yang betul.  Mazmur 8:5-6 dapat membantu kita mengingat kebenaran ini.  Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?  Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?  Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.”

Kalau kita ingat kenyataan ini, kita menjadi manusia yang lepas bebas dalam melakukan kegiatan kita sehari-hari yang berkenan pada Tuhan dan sesama dengan hati lapang karena tidak untuk mencari diri melainkan untuk memberi diri kepada sesama sebagaimana Yesus memberi hidup-Nya pada kita.  Kita juga mempunyai Bunda Maria yang sangat rendah hati sehingga Allah Bapa mau mempercayakan Putra-Nya padanya.  Dunia yang mengutamakan penampilan dan mau lebih dari yang lain berbeda dengan Bunda Maria yang tetap tinggal kecil dan mengandalkan kekuatan Allah.

Marilah kita belajar dari Bunda Maria untuk hidup dengan rendah hati, terarah pada Allah dan menginginkan Dia saja, sehingga kita pun bisa berseru bersamanya: Aku mengagungkan Tuhan, sebab Ia memperhatikan daku hamba-Nya yang hina ini.  Mulai sekarang aku disebut yang bahagia oleh sekalian bangsa.  Kuduslah nama-Nya (Luk. 1:46-48).