21 Juni 2024

Peringatan St. Aloysius Gonzaga

(Biarawan)


Aku akan mengidungkan kemurahan Tuhan selama-lamanya
Pembacaan dari surat St. Aloysius Gonzaga kepada Ibunya

 

Inilah yang menjadi doaku sedalam-dalamnya, ya ibu yang mulia, agar engkau dapat menikmati rahmat Roh Kudus dan penghiburan-Nya yang abadi.  Ketika surat ibu sampai padaku, saya masih ada di lembah maut ini.  Tetapi ibu tercinta, kita kadang-kadang harus merindukan surga, di mana kita dapat memuji Allah yang kekal di tanah orang hidup.  Akhir-akhir ini saya memang menaruh harapan, bahwa saya akan menyelesaikan perjalanan saya sebelum hari ini.  Di mana ada cinta, seperti dikatakan oleh Santo Paulus, ia menangis bersama mereka yang sedih dan bergembira bersama mereka yang bergembira, engkau akan memperoleh sukacita tak terduga, ibu yang mulia, karena Tuhan dalam cinta dan kebaikan-Nya kepadamu memberikan satu-satunya kegembiraan yang sejati kepadaku dengan jaminan, bahwa saya tidak akan kehilangan itu lagi.

Saya mengaku, ibu yang mulia, bahwa jikalau saya memandang kebaikan Allah yang dalam seperti laut dan tanpa batas, pikiran saya seakan-akan lenyap terkuasai keagungan-Nya.  Sebagai upah untuk pengabdian saya yang pendek dan tak seberapa, Tuhan sudah memanggil saya untuk istirahat kekal.  Betapa lalai saya mencari kegembiraan surga tanpa batas, dimana Ia mengundang saya!  Betapa lamban saya mencucurkan air mata yang dijamin akan diberi upah kehidupan kekal!

Renungkanlah hal ini setiap kali, ibu yang mulia, bahwa Tuhan tanpa batas belas kasih-Nya dan janganlah sekali-kali menganggap hal itu perkara kecil.  Dan itulah yang akan terjadi, kalau ibu meratap, seakan-akan matilah orang yang hidup di hadapan Allah.  Di sana ia akan membantu ibu dengan doa-doanya, yang akan lebih bermanfaat daripada selagi ia masih hidup.

Perpisahan kita tidak akan berlangsung lama; kita akan berjumpa kembali di surga.  Bersatu dalam kepastian, bahwa kita nanti sudah mencapai keselamatan, kita akan menikmati kebahagiaan kekal sambil memuji Tuhan dengan segala kekuatan jiwa kita, dan mengagungkan belas kasih-Nya untuk selama-lamanya, bersama-sama bahagia dalam sukacita abadi.  Ia mengambil hidup yang diberikan kepada kita untuk sementara tidak dengan maksud lain kecuali untuk mengembalikannya, bebas dari segala risau dan takut, dan melimpahkan kepada kita karunia-karunia yang menjadi tujuan harapan kita.

Saya mengatakan semua ini, karena saya yakin dapat mengharapkan engkau, ibu mulia, dan seluruh keluarga saya akan menerima kematian saya sebagai kurnia Tuhan yang menggembirakan; lagi bahwa engkau akan memberikan berkat ibu kepadaku, kalau aku melintasi laut ini ke seberang sana, yang menjadi pusat semua harapan saya.  Saya mengatakan semua ini dengan ketulusan hati, karena tidak ada jalan lain untuk mengungkapkan dengan begitu jelas cinta dan hormatku kepadamu, seorang putra kepada engkau, ibuku.

 


* Aloysius Gonzaga yang biasa dipanggil dengan nama Luigi, lahir di Mantua, Italia pada tahun 1568.  Ia berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya; ayahnya bercita-cita supaya ia menjadi tentara yang perkasa.  Namun sejak kecil, Luigi sudah tampak istimewa.  Ia memilih untuk tidak terbuai oleh kekayaan dan kenikmatan hidup di istana, tetapi lebih mengarahkan hidupnya kepada Tuhan.  Pada usia 10 tahun, ia sudah berikrar untuk hidup selibat dan pada usia 12 tahun menerima komuni pertama dari St. Carolus Borromeus.  Pada usia 16 tahun, ia masuk serikat Yesus di bawah bimbingan spiritual St. Robertus Bellarminus.  Sebagai frater ia amat rajin berdoa, tekun bermatiraga dan bersikap rendah hati.  Saat kota Roma kejangkitan wabah pes, Aloysius ikut merawat para pasien tanpa kenal lelah; kesehatannya sendiri malah tidak diperhatikannya, sehingga akhirnya ia terkena pes juga dan meninggal dalam usia 23 tahun pada 21 Juni 1591.  Karena kesalehannya dalam menjalani masa muda, Santo Aloysius Gonzaga dijadikan teladan dan pelindung kaum muda.