PEKAN BIASA XX – SENIN
Bergulat di luar dan gentar di dalam
Pembacaan dari tafsir St. Gregorius Agung, Paus, pada Kitab Ayub
Orang-orang kudus yang ditimpa kesengsaraan, harus menanggung serangan-serangan musuh, baik yang menggunakan kekerasan maupun serangan verbal. Untuk melawan yang pertama, mereka menggunakan perisai kesabaran; untuk melawan yang kedua mereka melancarkan anak panah doktrin. Dengan ketangkasan yang mengherankan mereka menghadapi kedua jenis peperangan ini. Dengan bijak mereka mengajar yang sesat, namun menentang dengan berani permusuhan lahiriah. Domba yang sesat mereka tuntun dengan pengajaran ke jalan yang benar, sedangkan mereka menanggung derita yang disebabkan oleh lawan, dan yang mereka kalahkan. Mereka tidak memiliki apa-apa selain keberanian untuk menegur dengan sabar, namun kuat, musuh yang datang menyerang, namun mereka bersimpati dengan orang yang lebih lemah, dengan menuntun mereka ke jalan yang aman. Mereka melawan musuh agar mereka tidak menyesatkan orang lain, tetapi mendukung yang lemah agar jangan sampai mereka melupakan kehidupan yang benar-benar lurus
Marilah kita memperhatikan bagaimana prajurit tentara Tuhan berperang melawan kedua macam musuh ini. Rasul berkata, “… kami tidak beroleh ketenangan bagi tubuh kami. Di mana-mana kami mengalami kesusahan: dari luar pertengkaran dan dari dalam ketakutan.” Ia menyebutkan serangan-serangan dari luar: “bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu.” Ia juga menyebutkan senjata-senjata yang digunakannya dalam peperangan ini: “banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali tanpa tidur sepanjang malam, lapar dan dahaga; kerap kali tanpa makanan, dan kedinginan, tanpa pakaian.”
Tetapi meskipun terlibat dalam begitu banyak pergulatan, ia menjaga sekelilingnya, dengan penuh kewaspadaan. Ia segera menambahkan “di samping kesulitan-kesulitan ini, masih ada kekhawatiranku tentang beban harianku untuk memelihara semua jemaat-jemaat.” Ia menceritakan kepada kami tentang kejahatan-kejahatan yang ditanggungnya, tetapi juga tentang kebaikan-kebaikan yang Ia bagikan dengan orang-orang lain.
Baiklah kita sadari, betapa beratnya itu, dalam waktu yang sama menghadapi lawan dari luar dan melindungi yang lemah di dalam. Dari luar ia menderita pergulatan, karena ia dikoyakkan oleh deraan, diikat dengan belenggu; di dalam batinnya ia merasa takut, karena ia khawatir, kalau-kalau penderitaannya menjadi batu sandungan, bukannya untuk dirinya sendiri, melainkan bagi para muridnya. Maka ia menulis kepada mereka dengan kata-kata ini: “Janganlah ada orang yang goyang imannya karena kesusahan-kesusahan ini. Kamu sendiri tahu, bahwa kita ditentukan untuk itu.” Dalam penderitaannya sendiri, kejatuhan orang-orang lainlah yang ditakutkannya. Ia takut, kalau-kalau para muridnya, setelah sadar akan kenyataan bahwa ia didera karena iman, mereka mundur karena takut untuk mengakui iman mereka.
Sungguh tak terduga besarnya cinta di dalam hatinya! Ia meremehkan penderitaannya sendiri, dan menaruh prihatin bagi para pengikutnya, kalau-kalau mereka menderita akibat bujukan untuk mengikuti pemikiran jahat. Ia tidak peduli akan luka-luka pada tubuhnya sendiri, namun menyembuhkan luka-luka dalam diri orang lain. Demikianlah sifat orang kudus: di tengah-tengah penderitaan dan kesusahan sendiri, tidak lupa memperhatikan kesejahteraan orang lain; dan kalaupun menderita karena perlawanan tak kunjung henti, tetap memperhatikan apa yang perlu bagi orang lain. Ia seperti dokter ulung yang terpukul oleh penyakit: ia rela menanggung penderitaannya sendiri, dan tetap memperhatikan orang-orang sakit lainnya dengan memberikan pelayanan serta obat-obatan untuk menyembuhkan mereka.