Sering kali kita baca dalam Injil bahwa seseorang mendekati Tuhan dan minta kesembuhan. Seperti dalam Injil hari ini (Mrk. 10:46-52), tentang kisah seorang pengemis buta yang datang dan minta pada Yesus agar ia dapat disembuhkan (melihat). Yesus bertanya kepadanya “Apa yang kau kehendaki Kuperbuat bagimu?” Jawab orang buta itu “Rabuni, semoga aku dapat melihat!”.
Apakah yang terjadi dengan pengemis buta itu? Pertama-tama, ia telah berani melawan pikiran umum dengan resiko bahwa akan dikritik bahkan juga dikesampingkan. Ia mengalami banyak orang menegurnya supaya ia diam (bdk ayat 48). Namun ia menaruh diri seutuhnya dalam resiko ini, keputusan ini, dan dalam kepercayaan ini. Imannya: saya dapat mengharapkan dari Yesus dari Nasaret semua yang biasanya diharapkan dari Allah. Inilah penjelmaan.
Yesus tidak berkata “Saya telah menyelamatkan engkau” melainkan “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau”. Bukan Tuhan, tetapi pengemis buta itu yang dapat membuatnya. Kehadiran-Nya menyadarkannya untuk percaya bahwa ini mungkin.
Dalam hidup ini, ada saat kita menghadapi situasi sulit, yang menurut kita tidak mungkin, dalam arti tertentu menuntut “kematian” kepada diri sendiri, yang membuat kita merasa ingin menyerah, tidak bertahan, lari, dsb. Sikap ini kurang beriman karena dikuasai rasa takut. Mengapa takut? Karena tidak mau menderita, harus lewat “salib”.
Belajar dari pengemis buta itu, apa yang kita pikir tidak mungkin menjadi mungkin kalau harapan dan kepercayaan kita, kita taruh dalam Yesus dan bukan dalam kemampuan manusiawi kita. Iman kepada Yesuslah yang memberi daya untuk menghadapinya.
Kekuasaan Yesus diwahyukan di salib, dalam kematian-Nya; kelemahan total-Nya. St. Paulus menulis: “kekuasaan Allah diwahyukan melalui salib Yesus. Inilah iman kita. Iman ini mewahyukan kemungkinan riil manusia bahwa ia dapat bangkit ke hidup kekal dalam Allah. Kita mengambil bagian dalam kematian-Nya, melalui pengorbanan-pengorbanan kecil dan penyangkalan diri demi kasih dalam hidup harian kita. Melalui “kematian” dalam Kristus ini, meskipun kecil, kita pun dapat mengalami kebangkitan dan hidup baru yang mengalir dari salib ini.
Rasa takut akan kematian perlu disadari dan diakui agar dapat dihadapi. Yaitu dengan menjalin relasi mendalam dengan pribadi Yesus Kristus melalui doa, lectio, dan Eakristi. Sakramen Ekaristi merupakan saat kita mengenangkan bahkan menghadirkan kematian dan kebangkitan-Nya. Maka kita harus menjadikan daya Sakramen ini menghidupkan kita sepenuhnya. Dengan begitu, pelita-pelita kita tidak akan padam dan minyak iman kita tidak akan berkurang.