Setelah Yesus wafat, para murid hidup dalam kekosongan, mereka bukan hanya kehilangan Tuhan, tapi juga kehilangan kehadiran hati keibuan yang bisa merawat luka dan rasa sakit hati mereka.
Mereka tidak lagi ingin memikirkan Yesus. Dia mati, sudah! Tidak ada yang bisa diandalkan lagi. Hilang sirna segala impian mereka untuk dapat mengikuti Dia dalam misi-Nya. Segala yang muncul hanya kenangan pahit bahwa salah satu di antara mereka telah mengkhianati Dia, dan mungkin sekali mereka akan menemukan nasib yang sama. Keraguan, ketakutan menghantui mereka, maka usulan praktis dari Simon untuk pergi menangkap ikan, yakni kembali kepada profesinya semula, yang membawa banyak sukses, mereka ikuti dengan semangat.
Tetapi dalam kegalauan hati yang sebenarnya, dalam keadaan “blank”, pasti mereka kurang fokus dalam kehadiran dan kerja mereka, sehingga tidak menyadari apa yang ada atau terjadi di sekitar mereka.
Tak disangka-sangka, Yesus muncul di tepi pantai, tanpa mereka kenali. Dan mereka mendengar perintah Yesus, tetapi mungkin karena heran dan ketakutan, mereka mengikut perintah-Nya. Tidak ada kesempatan lagi untuk meragukan atau berdebat. Yesus menyapa mereka bagikan seorang ibu yang mengerti bahwa anak-anaknya sedang lapar, karena emosi terlalu berat bagi mereka. Tanpa menyinggung pengalaman masa lampau, Yesus tegak berdiri di masa kini, saat ini, mulai baru! Sehingga para murid, meskipun bisa menebak bahwa itu Yesus, mereka diam, bungkam, tidak menanyakan apa-apa.
Ternyata Yesus sudah menyediakan makanan untuk sarapan mereka. “Marilah dan sarapanlah”, undangan Yesus yang penuh keibuan membuka mata mereka, meyakinkan kenyataan akan keajaiban atau mukjizat banyaknya ikan yang mereka telah Tarik ke dalam jala mereka, bahwa “itu Tuhan!”
Bapa, kami bersyukur atas anugerah Putra-Mu yang rela menjadi manusia, bahkan menderita sengsara, disalibkan dan mati bagi kami, dan yang Kau-bangkitkan. Buatlah agar keilahian dan kemanusiaan Yesus semakin kami sadari dengan hati keibuan Yesus, dan membuahkan perhatian bagi sesama.