Suatu hari, seorang rahib muda bertanya kepada abasnya: “Bapa, apakah kerja paling sulit bagi seorang rahib?” Sang abas balik bertanya: “Menurutmu sendiri apa jawabannya?” Rahib muda itu menjawab: “Mungkin hidup bersama,” tetapi abas menjawab: “Tidak anakku, meski banyak yang bersifat jahat, tapi mereka punya semangat baik untuk terus tinggal bersama.” Rahib meneruskan: “Kalau begitu, menjaga kemurnian?” Bapa menjawab lagi: “Tidak anakku, itu bukan masalah berat karena dalam beberapa tahun semua akan berkurang, termasuk nafsu.” Rahib muda itu terus mendesak abasnya untuk memberikan jawaban. Abas pun berkata: “Berdoa, berdoa memberi diri kepada Allah, karena 3 hari sesudah kematian, di hadapan hadirat Allah ujian kita adalah memandang-Nya muka ke muka, memanggil “Bapa” dan memberikan diri seutuhnya, inilah kerja paling sulit.”
Bila berdoa adalah kerja paling sulit bagi seorang rahib, lalu bagaimana dengan seorang pekerja atau pengusaha? Kerja paling sulit bagi seorang pekerja atau pengusaha adalah memberi, berbagi, karena kita mempunyai kecenderungan untuk menyimpan, menimbun seperti yang dikisahkan dalam bacaan Injil hari ini (Luk 12: 13-21). Seorang pekerja beranggapan bahwa gaji/upah yang didapat sebagai hasil jerih lelahnya, sementara orang kecil justru mempunyai prinsip bahwa itu adalah rejeki dari Tuhan yang patut disyukuri dengan saling berbagi. Wajar bila kita berpikir bahwa kita akan dapat beristirahat dan bersenang-senang apabila mempunyai banyak harta, tetapi apakah benar demikian? Bagaimana jika pada malam ini jiwa kita diambil, untuk siapakah yang telah kita sediakan itu? (Luk 12: 20)
Sekarang giliran sang abas yang bertanya kepada rahibnya: “Anakku, apakah kerja paling sulit bagi orang yang malas?” Rahib muda itu langsung menjawab dengan sangat yakin: “Mudah sekali jawabannya bapa, bangun dan membuat sesuatu-itulah kerja paling sulit bagi orang malas.” Sambil tersenyum abas pun berkata: “Tidak anakku, kerja paling sulit bagi orang malas adalah mengubah cara pikir dari keluhan putus asa sebagai korban kepada rasa syukur karena masih diberi anugerah hidup untuk melakukan kebaikan dan membiarkan Tuhan menyelesaikan misi-Nya di dalam hidupnya.”
Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Kolose memperingatkan kita untuk mencari perkara yang di atas, di mana Kristus ada dan memikirkan perkara yang di atas, bukan yang di bumi (Kol 3: 1-2). Bagaimana caranya? Dengan menanggalkan manusia lama serta kelakuannya dan mengenakan manusia baru yang terus menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya (Kol 3: 9-10). Manusia baru sejati adalah Kristus; Ia adalah semua dan di dalam segala sesuatu (Kol 3: 11).
Marilah kita berusaha menjadi kaya di hadapan Allah dengan mengenakan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Mengenakan kasih sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan, sebagaimana telah diteladankan Yesus Kristus (Kol 3: 12,14), agar pada saat kita dipanggil Allah, kita dapat berdoa dan berseru kepada-Nya: “Bapa!”