Pesta Salib Suci

 

Hari ini Gereja merayakan Pesta Salib Suci, yang dalam  kalender liturgi Gereja Katolik disebut “In Exaltatione Sanctae Crucis” yang berarti pemuliaan Salib Suci. Disebut pemuliaan karena sejak Yesus wafat di salib sampai kira-kira tahun 326, salib yang kita kenal sekarang dipasang di mana-mana, di Gereja, di rumah-rumah, bahkan menjadi hiasan, tidak seperti itu pada mulanya.

Salib mengingatkan barang yang menimbulkan rasa ngeri yang menjijikan karena merupakan alat tempat Yesus wafat. Sejak kenyataan bahwa Yesus bangkit dari mati, maka umat menjadikan bahwa salib adalah bagian dari paska Yesus, kemenangan Yesus dari kematian. Bacaan dari Filipi (Flp 2:6-11) menunjukkan bahwa Yesus rela turun ke dunia, mengosongkan diri-Nya sampai wafat di kayu salib, menanggung segala kejahatan manusia yang diarahkan kepada-Nya. Manusia sejak jatuh dalam dosa, dilanda rasa frustrasi mendasar karena ada daya haus dalam dirinya yang berlawanan dan tidak bisa dipulihkan oleh usahanya sendiri. Ada kerinduan untuk kembali pada kebahagiaan yang pernah ada, tapi tidak pernah dialami karena manusia berputar-putar mencari dan terperangkap dalam hal yang fana, sisi transenden telah putus.  Seperti umat Israel yang telah dipagut ular, hanya bisa hidup bila memandang ular yang mati di tiang besi (Bil 21:4-9) demikian pun kita manusia hanya bisa hidup lagi, bila memandang Yesus yang telah wafat di salib. Menyerahkan dan percaya penuh pada Yesus, sehingga relasi yang ada dipulihkan. Hal itu tidak mudah karena kecenderungan akibat dosa tetap ada dalam diri kita, yang menggerakkan insting dan kecenderungan dosa. Jadi kita perlu mengarahkan pandangan kita pada Yesus yang telah ditinggikan oleh Bapa, dengan kebangkitan-Nya melalui Ekaristi, doa pribadi, adorasi, maupun dengan merenungkan Sabda melalui Lectio Divina. (Yoh 3:13-17) Dengan mengangkat pandangan kita kepada-Nya, kita akan mengalami bahwa Allah tidak menghakimi tapi selalu menyambut kita dangan tangan terbuka, tangan terentang lebar yang ditujukan kepada kita di kayu salib.

 

Marilah kita memberi waktu dalam hidup kita sehari-hari untuk mengangkat wajah kita memandang kepada-Nya sambil menyerahkan segala kerapuhan kita, sesama, dan dunia serta membiarkan Dia yang memulihkan semuanya seturut belaskasihan-Nya.