30 Juli 2024

Pesta Pemberkatan
Katedral Semarang


Kita ini dibangun dari batu-batu hidup
menjadi rumah dan altar Allah
Pembacaan dari homili Origenes tentang Kitab Yosua

 

Kita semua, yang percaya akan Yesus Kristus, dikatakan laksana batu hidup menurut pernyataan Kitab, “Bagaikan batu-batu hidup kamu harus membangun dirimu menjadi rumah rohani dan imamat suci untuk mempersembahkan korban rohani yang berkenan kepada Allah dengan perantaraan Yesus Kristus.”

Pada batu sebagai bahan materi kita belajar mengamati, bahwa yang lebih kuat dan lebih besar daya tahannya ditempatkan paling bawah sebagai dasar, hingga beban seluruh bangunan dapat diletakkan dengan aman di atasnya.  Jadi kamu harus mengerti, bahwa dari antara batu-batu hidup ini ada sementara yang diletakkan sebagai fondasi pada bangunan rohani.  Nah siapa yang dipasang dalam pondasi itu?  Para Rasul dan para nabi!  Inilah yang dikatakan oleh Paulus sendiri dalam ajarannya, “Kamu dibangun atas dasar para rasul dan para nabi, dan Kristus Yesus sendiri yang menjadi batu sendinya.”

Ketahuilah, bahwa Kristus sendiri juga menjadi dasar bangunan yang saya gambarkan ini; maka kamu harus menjadi lebih sedia untuk mendirikan bangunan ini, dan siap menjadi salah satu batu yang lebih dekat pada fondasi.  Sebab inilah kata-kata Rasul Paulus, “Tidak ada dasar lain yang dapat diletakkan kecuali yang sudah dipasang, yaitu Kristus Yesus.”  Maka terberkatilah mereka yang nanti ternyata sudah mendirikan bangunan suci dan rohani di atas dasar yang mulia.

Tetapi di dalam bangunan gereja ini harus ada altar juga.  Dari sini aku menarik kesimpulan sebagai berikut: Kalau dari batu hidupmu sudah siap untuk ini, dan kamu sedia menyisihkan waktu untuk doa, untuk mempersembahkan pujian kepada Tuhan siang dan malam serta membawa korban permohonan, kamu sungguh menjadi batu-batu yang dibangun oleh Yesus menjadi altar.

Perhatikanlah sekarang, pujian apa yang diberikan kepada batu-batu altar ini?  “Musa, pendasar hukum, memerintahkan membangun altar dari batu-batu yang tidak dipahat, tidak disentuh oleh pengungis.”  Sekarang siapa batu-batu yang tidak dipahat itu?  Batu yang tidak dipahat, yang tidak diapa-apakan itu, boleh jadi para rasul: mereka bersama-sama merupakan satu altar, karena keselarasan dan kerukunan mereka.  Sebab tentang mereka diceritakan: ketika  sehati sejiwa berdoa, mereka membuka mulutnya dan berkata, “Engkau, ya Tuhan, mengetahui hati semua manusia.”

Orang-orang seperti ini, yang mampu berdoa sehati, sejiwa dan sesuara dalam roh, kiranya pantas dipakai untuk membangun sebuah altar, di mana Yesus mempersembahkan korban kepada Bapa.  Maka baiklah kita juga berusaha, agar kita pun dapat sesuara mengatakan hal yang sama, seperasaan dan tidak berbuat sesuatu karena persaingan atau mau mencari kehormatan.  Hendaknya kita bertahap tetap sehati serasa, dengan harapan agar kita juga dapat menjadi batu-batu yang sesuai untuk membangun altar.