PEKAN BIASA XXXIV – SENIN
Sesuai perbuatannya orang mendapatkan upahnya
Pembacaan dari khotbah St. Leo Agung
Tuhan bersabda, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.” Tetapi bagaimana kebenaran akan melimpah, selain jika “belas kasih melebihi keadilan?”
Apa yang lebih benar, manakah lebih layak bagi makhluk, yang diciptakan menurut gambar dan citra Allah, daripada mengikuti jejak Penciptanya, yang membawa pemulihan dan penyucian orang beriman dengan pengampunan dosa? Maka ditiadakanlah kekerasan hukuman, dihentikanlah semua siksaan, orang yang bersalah dipulihkan menjadi tanpa salah, dan akhir kejahatan menjadi sumber keutamaan. Apakah ada yang lebih benar daripada ini?
Inilah caranya kebenaran Kristiani dapat melebihi para ahli Kitab dan kaum Farisi; tidak dengan menghapus hukum, tetapi dengan menolak kebijaksanaan duniawi, suatu pemahaman dagingiah. Itulah sebabnya, sewaktu Tuhan menjelaskan kepada para murid cara berpuasa yang benar, Ia bersabda, “Jikalau kamu berpuasa, janganlah bermuka muram seperti orang munafik. Mereka itu mengubah paras mukanya, supaya orang melihat, bahwa mereka sedang berpuasa.
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.” Upah ini hanyalah pujian dari manusia. Adalah hal biasa untuk menginginkan upah ini karena nafsu, tetapi hasilnya adalah penampilan lahiriah. Bila tidak menghargai akal budi, yang dicari adalah penghargaan palsu. Sesungguhnya, dengan menutupi dirinya, dosa menghukum dirinya. Maka yang dicari untuk dinikmati adalah persetujuan publik yang palsu.
Bagi orang yang mencintai Allah, cukuplah menyenangkan Dia yang dicintainya; dan tidak ada upah lebih besar yang diinginkan selain mencinta itu sendiri. Cinta datang dari Allah karena Allah sendirilah adalah cinta. Jiwa yang murni dan saleh begitu bahagia untuk dipenuhi dengan Dia, hingga ia tidak mencari kesenangan di luarnya. Sungguh nyata benar sabda Tuhan, “Di mana ada hartamu, di sana hatimu juga.“
Apakah harta manusia itu selain timbunan keuntungan dan buah-buah hasil pekerjaannya? Sebab apa yang ditaburkan seseorang, itulah yang akan dituainya juga, dan upah seseorang itu sesuai dengan perbuatannya. Di mana ada kenikmatan dan kesenangan, di situlah keinginan manusia terlekat. Namun ada banyak macam kekayaan dan bermacam ragam alasan untuk bergembira; harta setiap orang adalah yang ia inginkan. Kalau itu berdasarkan ambisi duniawi, pencapaiannya tidak membawa kebahagiaan, melainkan kemalangan.
Di pihak lain mereka yang memusatkan perhatian pada hal-hal yang di atas dan abadi, bukan pada hal-hal yang duniawi dan fana, mereka memiliki harta yang tak dapat rusak dalam dirinya, seperti yang dikatakan oleh para nabi, “harta kita dan keselamatan kita sudah tiba, kebijaksanaan dan kesalehan dari Tuhan: inilah harta-harta kebenaran.” Oleh karena itu, berkat rahmat Tuhan, harta kebenaran ini mentransformasikan bahkan harta milik duniawi menjadi berkat surgawi.
Jikalau orang menggunakan kekayaan yang secara sah diwariskan kepadanya atau yang mereka peroleh dengan cara lain, sebagai sarana untuk berbuat baik; jika mereka mengumpulkan harta bagi dirinya untuk dibagikan dan meringankan beban kaum miskin, harta itu menjadi berkat yang tak pernah akan hilang. Jadi apa yang mereka relakan dengan memberi derma, tidak akan dapat merugikan. Dan dengan selayaknya, hati mereka berada, di mana hartanya ada, sebab sungguh bahagialah orang yang menggandakan kekayaan tanpa takut binasa.