Doa merupakan sumber utama bagi kehidupan rohani kita. Kita perlu berdoa untuk mengalami persatuan yang intim dengan Allah, menerima anugerah hidup dari-Nya terus-menerus, dan memperkuat relasi dengan Allah secara lebih mendalam. Lalu bagaimana sebaiknya kita berdoa? Ada begitu banyak metode tentang bagaimana caranya berdoa. Tapi dalam renungan kali ini, kami ingin memperkenalkan sedikit tradisi berdoa menurut semangat Peraturan St. Benediktus.
Dalam Peraturan St. Benediktus ditulis bahwa rahib dan rubiah hendaknya berdoa dengan singkat, tidak dengan banyak kata-kata, tetapi dengan kebulatan hati dan air mata penyesalan, apa maksudnya ini? Ini sama dengan pesan Yesus bagi para murid-Nya untuk berdoa dengan tidak bertele-tele, tidak dengan banyak kata dan dilakukan secara tersembunyi.
Memang tidak dapat dihindari bahwa di saat kita berdoa biasanya kita menjadi begitu aktif, berbicara begitu banyak kepada Tuhan, mengatakan segalanya pada Dia, semua ketakutan-ketakutan kita, harapan, sukacita, kesedihan, ucapan syukur, mengumandangkan pujian, memohon pertolongan dan seterusnya. Itu bisa dilakukan secara pribadi maupun secara bersama-sama sebagai anggota Gereja. Itu semua tidak salah. Kita bahkan dinasehati oleh Allah sendiri melalui Pemazmur bahwa kita hendaknya mencurahkan segala isi hati kita ke hadapan-Nya.
Tetapi doa kita tidak dibatasi oleh itu semua. Perlu ada saat-saat hening dalam doa kita untuk mendengarkan Allah yang berbicara juga kepada kita, karena justru di saat-saat khusus seperti inilah suara Allah dapat terdengar dengan lebih jelas. Dia sungguh hadir di kedalaman diri kita, dan Dia rindu untuk mengungkapkan cinta-Nya kepada kita, menyatakan kehendak penyelamatan-Nya kepada kita, menyampaikan rencana dan harapan-Nya atas hidup kita. Inilah saatnya bagi kita untuk diam, hening, membuka telinga dan hati kita, membiarkan Allah berbicara kepada kita. Dengarkanlah suara-Nya yang lembut di kedalaman hati kita, rasakanlah kehadiran-Nya di dalam diri kita, alamilah cinta-Nya yang begitu besar.
Marilah kita belajar dari Bunda Maria, yang seluruh hidupnya merupakan suatu keterbukaan total pada Allah. Hatinya begitu hening dan jernih sehingga Allah sangat berkenan kepadanya. Dia banyak mendengarkan terutama mendengarkan kehendak Allah bagi dirinya dan seluruh umat manusia. Ketika menerima kabar gembira dari malaikat Gabriel, dia hanya bisa berkata, “Terjadilah padaku menurut sabda-Mu.” Ini merupakan buah dari relasi intimnya dengan Allah yang terus diperdalam dalam doa dan keheningan, dalam sikap mendengarkan dan kepercayaannya yang total.