Sejarah Gedono
Awal Mula
Pertapaan Bunda Pemersatu – Gedono, lahir dari inspirasi Roh Kudus yang menggerakkan hati banyak peminat putri untuk mencari bentuk hidup doa yang mereka rindukan. Roh Kudus juga yang mengantar mereka mengalami perjumpaan dengan pertapaan Rawaseneng; dan karena tertarik akan hidup para rahib di situ, mereka mengharapkan adanya pertapaan putri di Indonesia.
Maka Rm. Frans Harjawiyata, OCSO, Abas Pertapaan Rawaseneng saat itu, meminta kepada Madre Cristiana Piccardo, OCSO, Abdis pertapaan rubiah Vitorchiano di Italia, supaya menerima calon-calon dari Indonesia dan memberi mereka pembentukan Cisterciensis secara penuh dalam komunitas mereka. Permintaan itu ditanggapi Komunitas Vitorchiano dengan keterbukaan iman dan kemurahan hati:
“Jika Tuhan meminta, Dia akan membawanya kepada pemenuhan”.
Mengapa Vitorchiano ?
Karena komunitasnya sangat berkembang berkat pembaruan hidup Cisterciensis sesudah Konsili Vatikan II di bawah kepemimpinan Madre Cristiana Piccardo (Abdis dari 1964-1988).
Komunitas yang subur ini diberkati dengan banyak anggota (lebih dari 80) dan terus dilimpahi panggilan baru. Pada saat itu Vitorchiano telah mempunyai empat rumah anak, termasuk tiga di Amerika Latin. Semangat misi untuk mendirikan pertapaan di negeri lain yang belum mengenal hidup Cisterciensis, serta pengalaman dengan budaya internasional menjadikan Vitorchiano pilihan unggul untuk melahirkan pertapaan di Indonesia.
Tuhanlah yang memilih Vitorchiano untuk menjadi Ibu; karena kemudian, pada saatnya, menjadi biara induk yang melahirkan pertapaan rubiah Cisterciensis di Indonesia.
Kesuburan Gereja Monastik Vitorchiano justru berasal dari kemiskinannya. Vitorchiano dapat melahirkan anak-anak karena mampu mentransmisikan kehidupan yang telah terlebih dulu dicurahkan kepadanya. Dengan penuh syukur dan kegembiraan, anak-anaknya ingin mewarisi, menghayati dan meneruskan karisma Vitorchiano kepada generasi-generasi berikutnya.
Pengiriman para calon
Beberapa calon dari Indonesia dikirim ke Vitorchiano untuk menerima pembentukan monastik di sana. Pengiriman dilakukan secara bertahap, mulai tahun 1979 sampai 1985.
Sementara di Indonesia, mulai tahun 1982, Rawaseneng memprakarsai segala persiapan dan pembangunan kawasan pertapaan di lereng gunung Merbabu, di dukuh Weru, desa Jetak, Kecamatan Getasan, di tanah yang oleh penduduk sekitarnya disebut “GEDONO”.
Pengutusan ke Indonesia
Akhirnya, awal 1987, 11 rubiah, anggota Vitorchiano, diutus untuk memulai hidup monastik di Indonesia. Mereka meninggalkan Vitorchiano dalam 2 tahap. Rombongan pertama terdiri dari 4 suster, yang berangkat pada 4 Januari 1987, HR Penampakan Tuhan, sementara 7 suster lainnya menyusul pada 19 Maret 1987, HR Santo Yusuf, Pelindung Vitorchiano. Kelompok Pendiri Pertapaan Gedono tersebut terdiri dari 8 suster Indonesia dan 3 suster dari Vitorchiano, yang salah satunya menjadi pemimpin, yaitu Sr. Martha Driscoll.
Setiap pertapaan dalam Ordo kami dibaktikan kepada Bunda Maria. Dalam perutusan untuk berdoa bagi kesatuan umat Kristiani seluruh Gereja, secara khusus bagi kesatuan bangsa dan Gereja Indonesia, para pendiri memilih “Bunda Pemersatu” sebagai Pelindung pertapaan. 31 Mei, Pesta Santa Perawan Maria mengunjungi Elisabeth, dipilih sebagai pesta Pelindung Komunitas.
Berakar dan Bertumbuh
Sejak tahun 1988, komunitas mulai menerima calon dan terus diberkati dengan calon-calon baru. Kehadiran kaum muda menjadi anugerah yang menantang komunitas untuk semakin bertumbuh dengan memberi diri untuk mentransmisikan hidup yang telah diterimanya.
Demikianlah, awal mula keberadaan pertapaan kami, yang menambah satu ‘oase’ keheningan, memperkuat jantung Gereja di Indonesia, di tengah hiruk-pikuk kesibukan dunia dan bangsa kita, mengingatkan akan yang transenden: Allah yang menjiwai seluruh kehidupan manusia.
Keberadaan komunitas Pertapaan merupakan kehadiran konkrit misteri Gereja sebagai Tubuh Kristus yang hidup dan bergerak bersama dan memberi nafas kehidupan kepada umat manusia, melalui doa dan pujian yang terus berlangsung setiap hari, dalam semangat cinta kasih dan pertobatan yang bergembira. Maka, pertapaan memang lazim digambarkan sebagai ‘jantung Gereja’.
Gedono terus berkembang, hidup dan berada berkat keibuan Vitorchiano dan kebapaan Rawaseneng hingga saat ini. Seiring waktu, Gedono pun semakin berakar dalam masyarakat dan Gereja lokal Keuskupan Agung Semarang.
Berkembang
Pada tahun 2007, Tuhan meminta komunitas untuk memulai tahap misioner, dengan anugerah jumlah anggota yang terus bertambah menjadi 38 rubiah. Dalam bimbingan Roh Kudus, komunitas mengutus 6 rubiah Gedono ke Macau untuk memulai fundasi disana sebagai kehadiran doa dan pujian terus-menerus kepada Tuhan. Mereka memilih Bunda Maria Bintang Pengharapan – Our Lady of Star of Hope – sebagai pelindung komunitas mereka.
Berangkat dalam beberapa tahap mulai tahun 2009 dan memulai secara resmi hidup regular monastik pada April 2012, Star of Hope telah berakar dan bertumbuh di jantung Keuskupan Macau, menjadi bagian umat dan masyarakat setempat yang sangat menghargai keberadaan mereka.
Misi keibuan untuk terus memberi hidup, mentransmisikan iman, harapan dan kasih ini sebetulnya sudah dimulai sejak 2001, ketika ordo meminta kami untuk mengangkat komunitas Rosary sebagai rumah anak Gedono dan kami menerima perutusan Tuhan ini dengan iman sebulat hati.